Uncategorized

UIN AM. Sangadji dari Lautan Maluku, Lahir Universitas Perjuangan

Posted on

Oleh:
M. Fazwan Wasahua

Infobaru.co.id, Ambon – Nama bukan hanya bunyi. Ia adalah sejarah yang didekap, disembunyikan, lalu sesekali dibuka kembali seperti kitab yang pernah dilupakan. IAIN Ambon, kini UIN AM Sangadji, tidak sekadar berganti huruf, tapi mengganti cara melihat diri.

Perubahan itu, seperti segala yang hidup, menyimpan tanda dan tafsir. Apa makna sebuah nama jika bukan jembatan menuju masa depan? Maka, perubahan ini adalah keputusan yang menulis ulang peta makna.

Sangadji bukan sekadar nama keluarga. Ia adalah gema dari tanah, dari laut, dari kitab dan rumah soa di seluruh negeri adat, yang tak selesai membisikkan kata-kata. AM Sangadji adalah mereka yang belajar menulis cahaya di atas gelap. Ia bukan hanya seorang ulama, tapi sosok yang memadukan pikiran dan perjuangan.

Dalam dirinya, iman dan ilmu bukan dua tiang, tapi satu jalan. Dan di jalan itulah kini universitas ini berjalan.

Barangkali sejarah Indonesia Timur terlalu sering dikisahkan dari luar. Dari pelabuhan yang berteriak, dari kerusuhan yang direkam, dari luka yang dijual dalam statistik. Tapi Sangadji bukan statistik. Ia adalah semacam puisi yang lahir dari doa yang dijaga di dalam rumah. Maka universitas yang mengambil namanya adalah janji bahwa Maluku tidak hanya mengabarkan sejarah, tapi menuliskannya sendiri.

Perubahan nama ini seperti merapikan pakaian sebelum berangkat. Ada jeda yang dirayakan, sejenak melihat cermin, sebelum melangkah. Apakah nama itu cukup besar untuk menampung harapan? Apakah cukup dalam untuk menyimpan ingatan? AM Sangadji menjawab: sejarah bukan untuk ditinggalkan, melainkan disambung. Dan universitas ini kini menjadi penyambung itu.

Saya membayangkan suatu siang, ruang kelas terbuka menghadap laut. Seorang dosen menyebut nama Sangadji, bukan sebagai tokoh mati, tapi sebagai kemungkinan yang hidup. Di dinding kampus, tak perlu lukisan megah. Cukup satu kutipan yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak pernah memilih bangsa.” Lalu mahasiswa tersenyum kecil. Mereka tahu, ini bukan sekadar universitas.

UIN AM Sangadji bukan hanya warisan Kementerian Agama atau hasil kebijakan administratif. Ia adalah bahasa dari tanah yang ingin bicara dengan dunia. Maka perubahan itu bukan formalitas. Ia adalah pernyataan. Bahwa kampus ini tak lagi berdiri sebagai IAIN yang pasrah di peta, tapi sebagai UIN yang menulis ulang arah. Di situlah makna pergiliran itu: dari diam menjadi kata.

Kita tahu, perubahan nama bisa berarti apa saja. Bisa jadi sekadar kosmetik, bisa juga revolusi diam-diam. Tapi jika nama itu membawa ingatan akan keberanian berpikir, maka ia menjadi penanda. Penanda bahwa ilmu tidak boleh tinggal di rak, bahwa iman tidak cukup disimpan dalam kepala. AM Sangadji adalah sintesis keduanya. Maka kampus ini pun harus menjadi arena pertarungan ide.

Saya teringat, di suatu pengajian tua di kampung, nama Sangadji pernah disebut dengan lirih. Seperti zikir. Bukan karena kekuasaannya, tapi karena ketekunannya mengajar dan merawat. Kini, ketika namanya menempel di depan universitas, ada beban, tapi juga kebanggaan. Beban untuk terus berpikir. Bangga karena sejarah tidak berakhir di batu nisan.

Nama yang baik tidak memberi bayangan, tapi cermin. Ia tidak mengajak untuk memuja, tapi untuk bertanya. Siapa AM Sangadji, dan mengapa ia layak dikenang? Maka mahasiswa yang datang dari pelosok, dengan logat yang berbeda-beda, kini akan belajar satu nama yang menyatukan. Di antara kitab dan laboratorium, mereka akan temukan: bahwa akal dan iman bisa bertetangga.

UIN AM Sangadji adalah peristiwa. Ia bukan hanya perubahan nomenklatur, tapi perubahan sikap. Dari menerima warisan menjadi mencipta warisan. Dari mengulang dogma menjadi menafsir ulang realitas. Di situlah letak universitas sejati: tempat akal dipertajam, bukan dipasung. Dan nama Sangadji menjadi kompas yang sunyi tapi teguh.

Ada satu kalimat yang selalu menggetarkan. Sangadji pernah berkata: “Lebih baik saya berjuang untuk Indonesia daripada pulang menjadi raja.” Ia menolak mahkota demi republik. Ia memilih perjuangan daripada takhta. Kalimat itu bukan romantisme, tapi prinsip. Dan prinsip itu kini menjadi akar dari universitas yang membawa namanya. Sebab ilmu pun adalah bentuk perjuangan.

Dan karena itu pula, kampus ini harus berani menepis semua ego, segala warisan mahkota, dan bayang-bayang kebangsawanan yang lama bersandar pada darah. Sebab di hadapan ilmu, semua kita adalah makhluk putih—tak berpangkat, tak bermahkota. Hanya terang nalar dan kerendahan hati yang membedakan manusia dari kebisingan dunia. Tak ada yang lebih tinggi derajatnya di dalam ruang perkuliahan, kecuali siapa yang paling sungguh mencari kebenaran.

Jika hari ini kita menyambut nama itu dengan upacara dan baliho, baiklah. Tapi esok, yang paling penting adalah: bagaimana kita menghidupkan namanya di ruang-ruang kelas, di tesis yang ditulis dengan susah payah, di pengabdian yang sunyi tapi tulus. Nama besar tidak akan hidup dari seremoni, tapi dari kerja panjang yang nyaris tak terlihat. Dan itulah ujian universitas ini ke depan.

Barangkali suatu hari nanti, kita akan lupa bahwa universitas ini dulu bernama IAIN. Tapi jika kampus ini mampu melahirkan pemikir seperti Sangadji, atau setidaknya yang menyerupainya dalam ketekunan dan keberanian, maka perubahan nama itu tak sia-sia. Sebab, pada akhirnya, nama hanya pintu. Yang penting adalah apa yang dikerjakan setelahnya.

Pendidikan, kata AM Sangadji dalam satu kesempatan, adalah tugas keabadian. Ia tidak selesai dalam satu generasi. Maka UIN ini, dengan nama itu, sedang menanam benih yang buahnya mungkin tidak dinikmati oleh para peresmian. Tapi dinikmati oleh anak-anak yang kini masih membaca dengan terbata-bata. Karena itulah nama Sangadji menjadi begitu penting: ia menolak dilupakan.

Mungkin kita terlalu sering menyambut perubahan dengan tepuk tangan, lalu kembali ke kebiasaan lama. Tapi universitas, jika setia pada namanya, harus menjadi pembangkang. Ia harus gelisah. Ia harus bertanya, bahkan pada iman yang diwarisi. Dan Sangadji, jika benar dikenang, akan terus membisikkan satu hal: bahwa berpikir adalah bentuk tertinggi dari rasa syukur.

Ada yang percaya bahwa nama adalah takdir. Tapi saya lebih percaya bahwa nama adalah tugas. Maka UIN AM Sangadji membawa tugas itu seperti air yang mengalir dari lereng pegunungan alaka ke tepi pantai wataina. Diam, namun tak pernah berhenti. Takdir tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah ikhtiar. Dan itulah yang seharusnya menjadi inti dari nama ini: ikhtiar yang tak henti mencari cahaya.

Hari-hari ke depan akan penuh tantangan. Dunia digital, disinformasi, kehilangan makna atas ilmu, komersialisasi kampus. Tapi nama AM Sangadji bisa menjadi perisai, jika kita tahu artinya. Ia bukan pahlawan poster. Ia adalah pengingat bahwa belajar butuh keberanian, dan keberanian butuh kejujuran. Maka UIN ini, jika jujur, akan besar bukan karena bangunannya, tapi karena pikirannya.

Saya bayangkan suatu malam, perpustakaan belum tutup, seorang mahasiswa menulis makalah tentang filsafat pendidikan Islam. Ia menulis nama AM Sangadji di sampul. Ia belum tahu sepenuhnya siapa dia. Tapi ada rasa hormat yang tumbuh. Karena nama itu kini hidup di sekitarnya. Ia akan belajar, perlahan. Dan dari situ, nama itu mulai tumbuh menjadi akarnya sendiri.

Kampus ini mungkin tak semegah universitas besar di Jawa. Tapi dalam kesederhanaannya, ia punya yang tak bisa dibeli: keberanian untuk menafsir ulang masa depan. Dan nama AM Sangadji bukan simbol nostalgia. Ia adalah tanda: bahwa kampus ini punya arah. Arah yang tidak ditentukan dari luar, tapi dari dalam, dari tanah, dari ingatan, dari doa.

Sejarah sering menipu: ia memberi kesan seolah yang lalu sudah selesai. Padahal, Sangadji tidak pernah selesai. Ia hidup dalam pilihan-pilihan kecil: apakah kita akan berpikir atau mengulang? Apakah kita akan mendengar atau hanya bicara? Dan universitas ini, jika setia pada namanya, harus memilih untuk mendengar. Mendengar suara akal yang tak selalu nyaman.

UIN AM Sangadji bisa menjadi pusat intelektual Timur, jika ia memilih jalan sunyi itu: jalan berpikir yang keras kepala, jalan membaca yang tak mengenal musim. Ia harus membangun bukan hanya gedung, tapi tradisi. Tradisi bukan yang kuno, tapi yang terus hidup. Seperti api kecil yang dijaga di malam yang dingin. Seperti zikir yang tak putus-putus.

Saya tahu, nama bisa kehilangan makna jika terlalu sering diulang tanpa isi. Tapi nama juga bisa menjadi pelita, jika kita tahu cara menyalakannya. Maka pelita itu kini ada di tangan para dosen, para mahasiswa, dan bahkan tukang sapu yang menyimpan buku di saku. Jika mereka percaya, maka nama itu akan hidup lebih lama dari plakat peresmian.

Dan jika pada akhirnya, universitas ini benar-benar menjadi rumah bagi pemikiran, bagi iman yang reflektif, bagi ilmu yang membumi—maka nama itu telah kembali ke tempatnya. Kembali ke bumi Maluku, tapi juga menjangkau langit. Sebab, seperti kata Sangadji dalam sunyi: “Ilmu yang tidak bermanfaat adalah debu.” Maka biarkan kampus ini menjadi angin yang meniupkan makna. (*)

Most Popular

Copyright © 2020 Infobaru.co.id