Opini - 24 Januari 2023

Pungutan Liar dalam Pandangan Hukum Islam

Oleh : Izhar Ma’sum Rosadi

Pungutan liar atau pungli dapat di artikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan pribadi oknum petugas secara tidak sah atau melaggar aturan. Pungli merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang yang memiliki tujuan untuk memudahkan urusan atau memenuhi kepentingan dari pihak pembayar pungutan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pungli melibatkan dua pihak atau lebih, baik itu pengguna jasa ataupun oknum petugas yang biasa melakukan kontak langsung untuk melakukan tranksaksi rahasia maupun terang-terangan, dimana pada umumnya pungli yang terjadi pada tingkat lapangan dilakukan secara singkat dan biasanya berupa uang. Pungli menjadi jalan pintas masyarakat untuk mencapai tujuannya. Namun, tidak dapat di pungkiri, pungli jelas merugikan negara dan bangsa dalam bentuk penurunan daya saing. Maju mundurnya sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh generasi yang dimiliki bangsa itu. Sebab generasi yang baik akan mencetak bangsa yang kuat dan berwibawa.

Imam Adz Dzahabi berkata bahwa orang yang melakukan pungutan liar mirip dengan perampok jalanan yang lebih jahat daripada pencuri. Orang yang menzalimi orang lain dan berulang kali memungut upeti, maka dia itu lebih zalim dan lebih jahat dari pada orang yang adil dalam mengambil pungutan dan penuh kasih sayang pada rakyatnya. Bahwa  orang yang mengambil pungutan liar, pencatat dan pemungutnya, semuanya bersekutu dalam dosa, sama-sama pemakan harta haram. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa tiada suatu peristiwapun di dalam Islam, melainkan di situ ada hukum Allah. Ditinjau dari sisi syariat, pungutan liar dapat dipadankan dengan kata ar-risywah.

Pungutan liar dapat dikategorikan sebagai arrisywah apabila kedua bela pihak sepakat, juga bisa dikategorikan sebagai perampasan (al-ghasbu) juga bisa dikategorikan pemungutan cukai (al-maksu), yakni apabila pungutan tersebut bersifat memaksa, misalnya apabila tidak menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada yang berwenang, maka urusannya akan di persulit, Allah telah menurunkan syari’at terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.  Syariat ini memiliki ciri khas rasional dibekali wahyu sebagai sumber rujukan guna menjadikan agama ini sebagai jalan yang lurus mencapai kebenaran di sisi Allah.

Agama Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kejujuran, baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain lain. Islam yang bearti keselamatan bagi para umat manusia yang memeluknya yang berarti menjauhkan umatnya dari perbuatan yang menyesatkan dan merugikan orang lain. Ketika seseorang memiliki iman yang mantap selalu merasa bersama dengan Allah. Allah maha melihat, maha mengawasi. Kemudian juga model pencegahan dari aspek ibadah, sebab salah satu fungsi ibadah itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar.

Ahkam Jayadi, “Membuka Tabir Kesadaran Hukum” (2017:14) menjelaskan bahwa  bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama Islam (di dalam al-Quran dan Hadist) tidak hanya berisi kaidah-kaidah yang mengatur tentang tata cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi berisi juga kaidahkaidah tentang interaksi sosial yang ada di tengah masyarakat bahkan mengatur tentang Negara.

Dalam agama Islam dengan jelas menerangkan bahwa penganutnya dilarang untuk melakukan perbuatan memakan yang bukan haknya.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Quran QS. al-Baqarah/2:188:

“Wa laa ta’kuluu amwaalakum  bainakum bil baatili wa tudluu bihaa ilal hukkami  lita’kulu fariqam min amwaalinnaasi bil ismi wa antum ta’lamuun “ (Q.S. 2:188)

Dalam Tafsir Al-Ibriiz menguraikan bahwa “Wa laa ta’kuluu (lan ojo podo mangan siro kabeh) amwaalakum ( ing piro piro bondho iro kabeh ) bainakum (ing ndalem antarane iro kabeh ) bil baatili ( kelawan batal ) wa tudluu ( lan nggowo siro kabeh ) bihaa (kelawan piro piro bondho )  ilal hukkami (marang pirang-pirang hakim )  lita’kulu (supoyo mangan siro kabeh ) fariqam ( ing sak panthan ) min amwaalinnaasi (saking piro-piro bandhane menungso ) bil ismi ( kelawan duso ) wa antum ( khale utawi siro kabeh ) ta’lamuun (ing podo ngerti siro kabeh )”

Dalam kitab tafsir Al-Ibriiz menerjemahkan ayat tersebut, yaitu  “siro  ora diparingaken ngalap bondhone liyan kanthi dalan kang ora bener, opo dene ugo ora diparingaken nggugat,serta nyorok (nyogok) marang poro hakim, kanthi tujuan supoyo siro kabeh iso ngalap bandhane liyan kelawan dedalan kan ora bener (doso) ing khale siro kabeh podho ngerti yen siro kabeh sing ora bener”.

Kementrian Agama Republik Indonesia mengartikan ayat tersebut, sebagai berikut:

“Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang bathil,  dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2:188)

Selain ayat di atas, larangan memakan harta dengan jalan yang batil pun tertuang dalam QS. AnNisa/4: 29.

“Yaa aiyuhallazii na  ’aamanu laa ta’quluu amwaalakum bainakum bilbaatili illa antaquuna tijaarotan antaroodhin mingkum, walataqkulu angfusakum, innalloha kaana bikum rohiima.” (QS. 4:29)

Dalam Tafsir Al-Ibriiz menguraikan bahwa Yaa aiyuhallazii na ( he eling eling wong wong), ’aamanu (  kang podo iman al alladziina ), laa ta’quluu (ojo podo mangan siro kabeh), amwaalakum (ing piro-piro bondho iro kabeh), bainakum (ing ndalem antarane siro kabeh), bilbaatili ( kelawan batil),  illa antaquuna ( kejobo yento ono al awwalakum), tijaarotan (iku bondo dagangan), antaroodhin = saking ridhon rinidon), mingkum, (saking siro kabeh), walataqkulu ( lan ojo podo mateni siro kabeh), angfusakum, (ing piro-piro awak iro kabeh ), innalloha (satuhune Alloh ta’ala), kaana (iku ono ing Alloh), bikum ( kelawan siro kabeh) rohiima (iku akeh welase).

Dalam kitab tafsir Al-Ibriiz menerjemahkan ayat tersebut, yaitu  “Siro kabeh ojo mangan bondho kang hasil saking dalan batalkoyo ribo lan ghosob umpomone. Tetapi bondho kang hasil saking dagang kanthi ridon rinidon iku kepareng. Lan siro kabeh ojo podo ngendat (bunuh diri). Saktemene Alloh Ta’ala iku welas marang siro kabeh”.

Kementrian Agama Republik Indonesia mengartikan ayat tersebut, sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ ayat 29)

Dan di dalam Hadist Nabi, diantara dalil diharamkannya menarik al-muks (pungutan) adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Hakim, Rasulullah saw bersabda “Tidak akan masuk surga orang yang melakukan pemungutan” ( At-Tirmidsi, 1/250: Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103: dan Ahmad 2/164-190). Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya dan mengaruniainya rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangkanya. Sebab Allah SWT adalah pencipta yang terbaik, segala ciptaan-Nya dan tidak seorang pun mampu menandinginya, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya hadir ke pentas dunia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, jasmani dan rohani.

Al-Quran dengan wawasannya yang amat luas banyak berbicara tentang manusia, kodrat dan kedudukannya dengan kedalaman dan kepekaan cita rasa bahasa Arab, sehingga dalam setiap pernyataannya mengundang para pembacanya untuk bertadabbur, tabashur, tadzakkur dan tafakkur.
Mencegah kemungkaran dengan tangan sebagimana perintah dalam Hadist pada dasarnya merupakan tugas pemerintah dan instansi yang berwenang untuk mencegah kemungkaran tersebut.

Pernyataan al-Thariq memang sangat logis, yaitu bahwa kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di masyarakat, apabila kemungkaran kolektif seperti problem pungli merupakan salah satu bentuk korupsi di Indonesia, harus ditangani langsung oleh pemerintah dan bekerja sama dengan semua kompenen bangsa. Sebab, tidak mungkin individu-individu tertentu akan berusaha memberantas tradisi korupsi yang terjadi hampir semua lini dan sektor kehidupan.
Dalam hukum Islam, pungutan liar dapat dipersamakan dengan istilah risywah, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan ghulul atau al-maksu, khususnya jika pungutan tersebut dijadikan sebagai syarat untuk memperoleh pelayanan. Baik riyswah, ghulul maupun al-maksu ketiganya termasuk perbuatan haram yang sangat dilarang, dan pelakunya akan memperoleh ganjaran dihari akhirat (
neraka. (*)

To Top