Editorial - 6 April 2020

Kritik sosial di tengah covid-19

INFOBARU – Lockdown, pembatasan wilayah, karantina wilayah atau apapun istilahnya, kita hanya akan terjebak di perdebatan semantik saja…. yang penting sekarang bagaimana Covid-19 tidak menyebar luas, yang Orang Dalam Pemantauan (ODP) tidak jadi Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yang PDP tidak naik status positif, dan bagaimana yang positif bisa sembuh.

Berita yang dirilis tirto.id angka kasus terkonfirmasi positif virus corona (Covid-19) di Indonesia bertambah 129 pasien, pada Senin, 30 Maret 2020. Penambahan itu membuat jumlah total kasus Covid-19 di Indonesia semakin mendekati angka 1500 orang. Data yang dilansir Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan total jumlah kasus positif corona di Indonesia mencapai 1.414 pasien, berdasarkan update per pukul 15.45 WIB, 30 Maret 2020. Sementara pasien positif Covid-19 yang masih menjalani perawatan mencapai 1.217 pasien. Baru 75 pasien yang sudah dinyatakan sembuh.

Mau Dibawa Kemana. Judul lagu yang diviralkan salah satu grup vokal papan atas, Armada Band nampaknya pas sekali untuk menggambarkan kegalauan masyarakat kita dengan pemerintah. Semua masih menunggu apa dilakukan oleh pemerintah, mau dibawa kemana nasib kesehatan mayarakat Indonesia saat ini, masyarakat butuh kejelasan. Memang tidak mudah untuk menelorkan kebijakan menyangkut hidup masyarakat Indonesia, butuh keberanian dan persiapan yang matang dalam segala aspek kehidupan.

Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas dan konstruktif untuk menekan penyebaran virus dan mengurangi angka kematian yang setiap hari bukannya berkurang malah terjadi penambahan yang signifikan. Rasio kematian mencapai 8,63%. Pro dan kontra untuk me-lock down atau karantina wilayah membuat banyak kalangan semakin galau, bahkan menjadi pembincangan hangat sekelas obrolan warung kopi. Siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan?

Kritik social

Dalam klasifikasi kaum Borjuis dan Proletar, Agama memperkenalkan istilah si kaya dan si miskin, kategori ini diturunkan dari analisis kelas Marxisme yang sangat populer sekali. Kita sepakati saja secara sederhana bahwa masyarakat kita terbagi dalam dua kelas sosial yang besar, 

kelas menengah dan kelas miskin. Kategori ini boleh saja diperdebatkan batasannya. Tetapi, kali ini, saya ingin menggunakannya untuk melihat respons dua kelas sosial yang berbeda terhadap virus Covid-19.

Fakta di lapangan bahwa Covid-19 ini bisa dikatakan sebagai penyakit kelas menengah, dimana kelompok yang tertular dan menularkan pertama kali adalah kelompok masyarakat kelas menengah. Virus ini menyebar melalui relasi internasional kelompok elit. Paling tidak, adalah mereka yang telah pulang dari perjalanan internasional. Pasien-pasien awal bertipikal ini. Seperti yang diberitakan oleh media kita ketika menteri perhubungan juga terpapar, plus orang-orang dari warga kelas menengah yang terpapar. Begitu juga polanya. Siapa yang paling panik dan respon?

Tentu jawabannya adalah mereka kelas menengah. Teriakan social distancing atau lockdown adalah mereka masyarakat kelas menengah, dari bahasanya pun bahasa kelas menengah bukan masyarakat miskin, pun semakin menegaskan watak kelas menengahnya. Mereka satu sama lain untuk saling mengingatkan “menjauhi” virus ini yaitu dengan merubah social dari intim menjadi berjarak.

Baru sekali ini terjadi dalam sejarah masyarakat Indonesia bersatu kita runtuh bercerai kita teguh, bertolak belakang dengan apa yang dikampanyekan masyarakat miskin dalam pepatahnya  bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, sistem masyarakat Indonesia yang lebih mengutamkaan semangat gotong royong. Kampanye social distancing bergema di kalangan sesama kelas menengah. Gerakan sunyi dan pendekatan spiritual yang bersifat individual juga menggema dari kelas menengah.

Para agawaman kelas menengah pun kompak untuk meniadakan Salat Jumat. Tujuannya jelas,  hifdzun nafs, tentu yang dimaksud adalah nafs kelas menengah. Tampak dengan jelas, bahwa kelas menengah adalah kelompok sosial yang paling rawan, dan sekaligus paling ketakutan menghadapi virus ini. Cukup sukses, kampus, sekolah, kantor, mall bahkan masjid ditutup, bahkan saat ini imbasnya adalah warung kopi tempat nongkrong masyarakat bawah juga tutup.

Tanpa komando dan perintah pun, mall pasti tutup. Bagaimana tidak? Pengunjung mereka (Mall) adalah masyarakat kelas menengah yang saat ini mengalami kegalauan (istilah anak jaman now) dan memilih untuk mengurung diri di rumah. Mall maupun tempat nongkrong masyarakat menengah lebih memilih untuk tutup daripada operasional, mereka tidak mau menanggung biaya operasional tanpa ada pemasukan. Jadi, pilihan tutup sangat rasional dan logis sekali.

Tidak cukup sampai disitu saja. Memang dasar kelas menengah, kampanye social distancing dibarengi lagi dengan panic buying. Dengan kekuatan ekonomi yang mereka punya dikantong tanpa sadar memborong segala keperluan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, missal bahan pokok, masker, hand sanitizer, vitamin C dan E mereka borong ludes. Para kelas menengah memburu semua resources untuk menyelamatkan diri tanpa mempedulikan warga kelas bawah.

Kekuatan ekonomi yang dimiliki, mereka memilih untuk mengurung diri dengan tujuan memutus rantai. Setelah berhasil dengan seluruh kampanye yang dikoar-koarkan di media social (medsos), mereka tampil layaknya pejuang bak sebagi pahlawan dan petarung hebat dalam menekan penyebaran Covid-19 dengan status heroic-nya di Facebook, Instagram maupun twitter.

Dan secara tidak disadari statu-status heroic yang ciptakannya menimbulkan efek horror, suasana semakin tak terkendali, satu tambahan info maupun data saja segera dikirim melalui grup Whatsapp, sehingga menimbulkan suasana semakin mencekam di kalangan kelas menengah.

Namun sikap kelas menengah ini bertolakbelakang kaum bawah, kaum proletar ini nampaknya tidak terpengaruh dengan Covid-19, merreka nampak asik sekali melewati hari demi hari untuk bersosialisasi maupun bekerja mengais rejeki. Kaum masyarakat bawah tidak terpengaruh dengan perilaku kelas menengah yang lebih memilih mengurung diri di rumah dengan istilah Work From Home (WFH), sekali lagi istilah bahasa asing yang digunakan untuk menunjukan watak dan golongan kaumnya.

Perilaku mereka (kelas menangah) menjadi bahan tertawaan masyarakat bawah. Mengapa mereka (kaum bawah) begitu santuuy dalam menyingkapinya? Anggapan mereka adalah Covid-19 penyakit kaum elite yang perilaku sosialnya memang jarang sekali bergaul dengan kaum bawah, kecuali untuk kepentingan politis saja. Jika social distancing adalah kunci jawabannya tentu mereka kaum menengah sudah barang tentu selamat dan saya pastikan itu. Bukankah jarak sosial (social distance) sudah lama terjadi selama ini?

Kaum kelas menengah tidak pernah benar-benar menjalin hubungan sosial kecuali untuk kepentingan politik, ekonomi, dan ritual keagamaan. Untuk diketahui sebagai masyarakat kelas menengah, waktu kita sudah habis tersedot dengan urusan yang sering diciptakan sendiri melalui rekayasa system ekonomi kapitalisme. Bukankah mereka akan menyapa kaum bawah ketika ada agenda tertentu saja seperti menawarkan sayuran, ikan, undangan, soal politis bahkan kematian?

Alasan lain, ancaman klasik masyarakat kelas bawah adalah mereka sudah lama dihantui kekhawatiran persoalan ekonomi, ancaman kelaparan urusan perut sudah menjadi hal yang sangat wajar sekali. Untuk bisa hidup, masyarakat kelas bawah sudah terbiasa dan hidup “berdampingan” dengan yang namanya penyakit, asal nyawa masih dikandung badan mereka siap memeras keringat untuk mengais rejeki.

Tinggal dan mengurung diri di dalam rumah seperti halnya kaum menengah adalah ancaman bagi mereka, bahkan dianggap sebagai bunuh diri karena mempercepat kematian akibat tidak mendapatkan rejeki kalau tidak bekerja. Dan pilihan satu-satunya adalah keluar rumah mengais rejeki di tengah ketidakpastian akibat social distancing yang dikampayekan oleh kaum menengah. Apa kira-kira begitu yaaaa?

Apabila ditirukan mungkin begini suara hati mereka “Kalian minta kami mengurung diri di rumah dengan segala keterbatasan kami, dengan segala bahasa asingmu untuk menyelamatkan kalian, apa kalian sadar kampanyemu membuat kami sengsara mungkin mati di dalam rumah, apa kamu peduli dengan kami?”.

Nah, jika kaum menengah menginginkan social distancing atau apalah istilah bahasa asing mereka tentu juga dipikirkan nasib kaum bawah, stay at home saja tidak akan cukup tanpa ada jaminan social. Paling tidak UU no 6 tahun 2018 terkait Kekarantinaan Kesehatan bisa dilakukan, dimana keputusan karantina harus didasarkan pada pertimbangan epidemilogis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan, sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, social, budaya dan keamanan.

So, jika egoisme kelas masih menjadi perdebatan dan tetap dipertahankan untuk keselamatan sendiri, pertanyaannya adalah apa yang bisa menahan kelas bawah untuk tetap di rumah sambil menahan perut kelaparan? Jangankan untuk membeli masker dan hand sanitizer yang harganya membumbung tinggi. Membeli beras saja mereka belum tentu bisa.

Jadi ditengah ketidakpastian pemerintah dalam menelorkan kebijakan dalam menekan penyebaran Covid-19 dan teriakan social distancing, karantina wilayah, pembatasan wilayah atau apapun namanya dan bahasanya bisakah untuk saat ini kita kampanyekan “Mari hidup sehat, berbagi dan selamatkan hidup mereka untuk menyelamatkan hidup kamu!”.(IB/1)

Beri Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top