Editorial - 6 April 2020

Corona: Efektifkah Perppu No 1 Tahun 2020

INFOBARU – Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona berbahaya.

Untuk keperluan tersebut, pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp405,1 triliun yang selanjutnya akan diperuntukkan kepada sejumlah bidang penanganan mulai dari sisi kesehatan hingga dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk Social Safety Net, Rp70,1 Triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.

Berapa prosentase yang dikeluarkan untuk menangani pandemic virus corona di Indonesia? Apa kekuatan dan kelemahan dari Perppu tersebut, efektifkah Perppu no 1 Tahun 2020 ini?

Nah, bila dikaji dengan seksama maka 3 regulasi tentang darurat kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah bisa dimaknai bahwa pemerintah pusat tidak memprioritaskan soal pemberantasan pandemi Covid-19 tapi ke sector ekonomi.

Lho kok bisa demikian? 53 persen (Rp70,1 Triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional) untuk pemulihan ekonomi. Sementara sisanya yang mencapai 47 persen (Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk Social Safety Net) untuk kesehatan. Sehingga diduga mempunyai kesan untuk memanfaatkan situasi dominan pendanaan sektor pengusaha bukan pada tindakan kesehatan maupun kepentingan rakyat.

Untuk diketahui bahwa Perppu ini harus diwaspadai dan pemerintah diharapkan berhati-hati dalam melaksanakan Perppu No 1 Tahun 2020 ini, karena pada Pasal 27 ayat 1, 2, dan 3 bisa dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk membobol uang negara tanpa bisa dijerat oleh hukum, dan juga regulasi ini juga bisa membahayakan posisi Bank Indonesia (BI).

“Pada Pasal 27 Ayat 1 Perppu ini dijelaskan bahwa segala uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara. Kemudian Ayat 2 menyatakan semua pejabat keuangan memiliki kekebalan hukum. Sementara Ayat 3 menyebut semua kebijakan keuangan yang dikeluarkan berdasarkan Perppu No.1/2020 bukan merupakan obyek gugatan di PTUN”.

Dijelaskan bahwa lahirnya Perppu No. 1/2020 di tengah pandemi virus Corona (Covid-19). Program stimulus pemerintah yang mencapai Rp405,1 trilliun ini akan memanfaatkan dana dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), dana abadi, dana Badan Layanan Umum (BLU), hingga dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN.

Berdasarkan catatan terakhir, SAL yang dimiliki pemerintah mencapai Rp160 triliun. Sementara sumber-sumber lain sedang dihitung oleh pemerintah, yang perlu dicermati adalah adanya sumber pendanaan lain yang akan dimanfaatkan pemerintah, yakni meminta BI untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara) di pasar perdana.

Sejatinya, ketentuan tersebut dilarang oleh Undang-Undang Bank Indonesia (BI hanya diperbolehkan untuk membeli SBN dari Pasar Sekunder bukan dari Pasar Primer karena sangat membahayakan). Namun Berdasarkan Perppu No. 1/2020 hal tersebut diperbolehkan membeli surat utang dari Pasar Primer, sehingga yang terjadi adalah bahwa Perpu ini secara tidak langsung merubah UU BI itu sendiri. Apakah ini termasuk dalam kriteria Omnibus Law model baru?

Berdasarkan UU No. 3 Tahun 199 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 ayat (4) disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara, kecuali di pasar sekunder. Kemudian pada Pasal 55 ayat (5) disebutkan, perbuatan hukum BI membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder, dinyatakan batal demi hukum.

Kemungkinan terjelek adalah Perppu 1/2020 disalahgunakan sebagaimana kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis ekonomi 1997/1998. Saat itu uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar guna menyelamatkan grup usahanya. Dikwatirkan adalah modus serupa akan terulang kembali yaitu melalui pembiayaan fiscal dan pembelian obligasi bank-bank swasta atau pemerintah.

Latar belakang ditetapkan Perppu No 1 Tahun 2020 adalah menyingkapi perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 4 persen atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.

Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan. Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya. Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran 2020 dari sisi Pendapatan Negara.

Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan menjaga aktivitas usaha. Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020 terutama sisi Pembiayaan.

Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam KSSK, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.

Penyebaran pandemi Corona Vints Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global. Sehingga memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (ertraordinary) dibidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan.

 Pemerintah dan lembaga-lembaga segera mengambil langkan konstruktif guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net). Serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.(IB/1)

Beri Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top