Oleh
Masdjam Sangadji
(Mantan Kepala BSNPG Provinsi Riau)
Infobaru.co.id, Partai Golkar adalah partai besar dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, setidaknya sejak zaman Orde Baru, bahkan puncak reformasi 1999 yang mampu menerjang badai. Namun setelahnya itu, terkesan menjadi tak berdaya secara nasional dalam geliatannya.
Terakhir Partai ini hanya mampu menempatkan Kadernya (secara person); HM. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden sebanyak 2 (dua) kali kendati dalam prosesnya itu tak pernah di usung oleh Golkar. Namun kebesaran hati sebagai kader partai ataupun organisatoris (baca aktivis) di zaman mudanya tak membuat surut, bahkan rasanya semakin memiliki.
Realitas itulah yang mesti menjadi cerminan bagi setiap kaders secara umum, dan khususnya para elite Partai Golkar (PG) mulai dari DPP sampai Desa/Kelurahan. Agar kejayaan itu direbut kembali di tahun 2024 mendatang, namun sejak dini (tersisa 7 bulan kedepan) dapat dengan sigap bisa dipersiapkan secara lebih matang dan mendalam sebagai kontestan.
Publik Indonesia bahkan Dunia tercengang, sejak ada rekomendasi Dewan Pakar DPP Partai Golkar, juga pernyataan Ridwan Hisyam (Anggota Dewan Pakar DPP) yang menyoroti elektabilitas Partai & Ketum Airlangga Hartarto (AH) yang tak mumpuni. Boleh dikata tak memenuhi kulminasi politik untuk Capres/Cawapres 2024 dari Partai Golkar.
Begitu rekom dewan pakar DPP dan pernyataan anggota dewan pakarnya, langsung mendapat respon (menghalau) dari sejumlah elite DPP PG, Ormas, DPD juga kaders. Ramai-ramai menanggapi untuk menolak pernyataan anggota dewan pakar dimaksud.
Anehnya, setelah kemunculan Opung Luhut Binsar Panjaiatan (LBP) ; Ketua Dewan Penasihat DPP PG yang menyatakan bersedia menjadi Ketum DPP PG sekalipun dengan beberapa syaratnya yang dikemukakan di acara Dialog ROSI di Kompas Tv, sampai detik ini tak ada respon (menghalau) yang seheboh atau seramai saat menanggapi pernyataan anggota dewan pakar. Sehingga, menjadi wajar jika ada pertanyaan kaders yang kebutulan di bawah; bahwa manakah yang benar antara pernyataan anggota dewan pakar dan ketua dewan penasihat ???. Oleh karena kesan responnya tak seirama dan heboh oleh elite yang menghalau.
Kalau seperti itu dinamika respon elite partai terhadap dua pernyataan baik ridwan hisyam maupun opung LBP, maka publik bisa saja menyimpulkan sendiri bahwa memang pengelolaan organisasi sekelas PG belum dan bahkan tidak siap dalam menghadapi kontestasi di 2024. Terlebih untuk kesiapan Ketum AH dalam memenuhi Rekomendasi Munas PG 2019, yakni sebagai Capres dari Partai Golkar, mengingat elektabilitasnya yang tak mencapai 2 digit ketimbang kontestan lain yang bukan ketum partai. Kapitalisasi peran sebagai eksekutif di kabinet indonesia maju melalui program kemenkopun sangat tak energik secara politik untuk menggenjot angka kulminasinya. Buktinya; terselang 7 bulan menuju februari 2024, angka itu stagnan dan cenderung lebih turun lagi, merujuk dari hasil beberapa survei selama bulan Mei 2023. Instrumen kelembagaan tak boleh untuk disalahkan, karena ruang geliatnya berbeda. Gambaran ini merupakan variabel pengelolaan politik Ketum AH dan marketing Partai.
Yang akan semakin disimak dan sungguh menarik bagi publik untuk hari-hari besok adalah dengan dipanggilnya Ketum AH sebagai saksi atas kasus CPO oleh Kejaksaan Agung RI. Lepas dari apa statusnya nanti, akan sangat berdampak pada citra Golkar secara kelembagaan serta pencalegan di semua tingkatan; baik DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, bahkan pilkadanya. Semoga tidak demikian adanya !
Terakhir, kontestasi politik di tahun 2024 besok, bagi Golkar kuat sangat dipengaruhi oleh keterlibatan (supporting), keaktifan oleh publik, terkhusus kaum milenial, sehingga dengan kesan negatif ataupun positif yang disuguhkan di ruang-ruang publik (media massa) atas suatu realitas, tentu sangat berpengaruh bagi mereka dalam menentukan keterpilihannya. Kondisi inilah yang menuntut kita sebagai kelembagaan maupun pengelolanya harus lebih bijak dalam menakhodainya, mengingat Golkar milik Rakyat bukan elitenya. (*)