Oleh: Ahmad Mony
Infobaru.co.id, Ambon – Catatan sejarah perjuangan tokoh perintis kemerdekaan RI dari wilayah timur Indonesia Abdoel Moethalib Sangadji biasa disingkat AM. Sangadji sudah banyak ditulis oleh keluarga, akademisi dan pakar sejarah. Namun ada satu yang luput didalami dalam mengembangkan narasi perjuangan beliau tentang totalitas perjuangannya untuk kemerdekaan RI dan mengusir kolonialisme dari bumi nusantara.
Teater Perjuangan AM. Sangadji
AM. Sangadji menjalani tiga teater perjuangan melawan kolonialisme di bumi nusantara: pertama, eksistensi perjuangan melawan kolonialisme belanda dari rentang periode kehadiran beliau di tanah Jawa sampai kekalahan Belanda dari Kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik. Pada masa ini AM. Sangadji terlibat dalam konsolidasi gerakan kemerdekaan RI melalui pendekatan Non-Kooperatif terhadap Pemerintahan Hindia Belanda. Bersama tokoh-tokoh penting Sarekat Islam (SI) seperti HOS. Cokro Aminoto, H. Agus Salim dan lainnya membangus kesadaran kebangsaan untuk merdeka melalui surat kabar maupun pidato dari podium ke podium dan dari rapat raksasa ke rapat raksasa lainnya bersama rakyat.
Kedua, eksistensi perjuangan di masa kolonialisme Kekaisaran Jepang di nusantara setelah mengusir Belanda. Semangat AM. Sangadji tetap dengan pendekatan Non-Kooperatif terhadap pemerintah Jepang yang datang dengan propaganda sebagai saudara tua yang membebaskan Asia dari cengkeraman kolonialisme eropa. Kecurigaan Jepang terhadap gerak-gerik AM. Sangadji berakhir di penjara jepang pada tahun 1943.
Ketiga, eksistensi perjuangan AM. Sangadji pasca berakhirnya perang pasifik yang mengakhiri kolonialisme Jepang dan rencana re-okupasi Hindia Belanda oleh kekuatan militer Belanda yang didukung oleh pasukan sekutu. Pada fase ini AM. Sangadji terlibat dalam perjuangan fisik bersama laskar hizbullah dalam mengorganisir pertempuran surabaya dan agresi militer belanda I di Kota Yogyakarta. Gerak-gerik AM. Sangadji sekali lagi berakhir di penjara militer Belanda pada tahun 1946 di Kota Banjarmasin. Pada fase ini pula beliau terlibat dalam beberapa perundingan dengan militer Belanda, seperti keterlibatannya dalam Perundingan Renville sebagai penasehat bagi diplomat-diplomat RI yang diutus oleh Pemerintah Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh AM. Sangadji bukan sebuah kebetulan sejarah. Mengingat, risalah ideologi mengusir kolonialisme dari bumi nusantara merupakan sebuah amanat perjuangan dari leluhurnya yang terpatri kuat dalam prasasti sanubarinya, bahwa pernah berlalu dua palagan besar di bumi tempat ia dilahirkan, bumi Hatuhaha, yakni Perang Alaka I dan II untuk mengusir orang asing yang hendak menjajah tanah leluhur. Semangat ini yang hadir kembali dalam darah juangnya ketika menemukan momentum dan komunitas juang di SI.
Tahta Untuk Kemerdekaan Indonesia
Kristalisasi perjuangan menuju Indonesia merdeka bukan sebuah jalan tanpa konsekuensi. Bagi AM. Sangadji setiap perjuangan memiliki resiko. Salah satu resiko besar yang muncul dalam ideologi dan narasi perjuangan para tokoh perintis kemerdekaan kala itu adalah eksistensi kerajaan-kerajaan lokal serta masa depan aristilokrasi dan feodalisme lokal dalam negara baru yang akan lahir pasca kolonialisme yang merupakan integrasi seluruh wilayah bekas jajahan hindia Belanda. AM. Sangadji berada pada persimpangan tersebut, antara tokoh pejuang kemerdekaan dan identitasnya sebagai kelas ariatokrasi lokal calon raja di negerinya.
Integrasi seluruh wilayah nusantara (bekas Hindia Belanda) yang mengkristal dalam konsepsi Sumpah Pemuda 1928 memiliki resiko terancamnya eksistensi kerajaan-kerajaan lokal yang masih menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda, seperti Keraton Solo dan Yogyakarta, kesultanan-kesultanan melayu di Pulau Sumatera seperti Kesultanan Siak Sri Indrapuri, maupun kesultanan di wilayah timur seperti Ternate dan Tidore. Di Maluku, pemerintah Hindia Belanda juga masih mempertahankan kekuasaan raja-raja lokal pada setiap negeri.
Resiko ini terbukti pasca Belanda terusir dari bumi Indonesia. Revolusi kemerdekaan meruntuhkan kerajaan-kerajaan lokal dan sistem feodalisme lokal yang dianggap menjadi penghambat kemerdekaan dan integrasi negara kesatuan yang baru dideklarasikan dari kolonialisme. Sejarah Indonesia mencatat hanya dua penguasa lokal yang mengintegrasikan wilayah dan kekuasaannya kedalam republik baru yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 yakni Keraton Yogyakarta melalui Maklumat 5 September 1945 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX tentang integrasi daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman sebagai bagian RI. Lalu integrasi Kesultanan Siak Sri Indrapuri melalui maklumat Sultan Syarif Kasim III.
Namun sebelum itu, sebelum kemerdekaan RI, Abdoel Moethalib Sangadji sudah memiliki proyeksi juang seperti yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sultan Syarif Kasim III. Pada medio 1930an ketika Sang Jago Toea diminta oleh ayahandanya Raja Abdoel Wahab Sangadji untuk kembali ke Ambon untuk menjadi raja, beliau menolak tawaran itu dan memberi saran kepada ayahnya agar menunjuk saudaranya Abdoellah Sangadji yang saat itu menjabat asisten wedana Karesidenan Kutai Kartanegara untuk pulang menjadi raja.
Taklimat tegas AM. Sangadji menolak menjadi raja agar tetap fokus pada jalan juang kemerdekaan bersama para sejawat juangnya adalah, “Lebih baik melanjutkan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia dari pada pulang dinobatkan sebagai raja”. Taklimat AM. Sangadji dalam posisi sebagai putra mahkota saat itu memiliki nilai yang hampir sama dengan maklumat integrasi yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX maupun Sultan Syarif Kasim III. Bedanya, taklimat ketulusan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Si Jago Toea pada masa pra kemerdekaa dengan resiko kehilangan kehilangan kesempatan menjadi raja serta kehilangan status kebangsawanan.
Hal lainnya bahwa AM. Sangadji memiliki ketajaman hati dalam membaca sejarah dan proyeksi masa depan bahwa otoritas lokal dan sistem feodalisme pada waktunya akan hancur bersama sebuah republik baru yang mengusung cita-cita pembebasan, kesetaraan dan persamaan hak warga negara tanpa memandang kasta, etnis, agama, gender dan golongan. Semangat inilah yang harus tetap menyala dan dilanjutkan oleh para Jago Moeda di masa kini. (*)