Oleh:
Izhar Ma’sum Rosadi
Warga Desa Segarajaya Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi, Ketum DPP LSM BALADAYA
Infobaru.comid, Bekasi – Status opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan impian seluruh instansi pemerintah. Opini WTP bisa menjadi performa atau gambaran dari kinerja akuntabilitas pengelolaan keuangan publik.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat 4 (empat) jenis opini yang diberikan oleh BPK RI berdasarkan hirarki (nilai terbaik-terburu, yakni: Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion; Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion; Opini Tidak Wajar atau adversed opinion; dan Pernyataan menolak memberikan opini atau disclaimer of opinion.
Untuk mengejar status WTP instansi terkait perlu memenuhi kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, selain itu instansi terkait juga perlu melengkapi kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Keempat prasarat tersebut bukanlah perkara mudah bagi intansi yang bermental korup, hal ini kemudian memunculkan ide untuk mengakali opini BPK seperti kasus yang terjadi di daerah lain.
Kita setidak-tidaknya masih mengingat tatkala Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi, Dedy Supriyadi serta Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah kabupaten Bekasi,Hudaya menyerahkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Unaudited tahun anggaran 2022 ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat.
Pemerintah daerah kabupaten Bekasi berkeinginan dapat mempertahankan opini WTP yang kesembilan kalinya. Namun apa hasil dari pemeriksaan laporan keuangan tersebut? BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) !
Paula Henry Simatupang, Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Jawa Barat (dalam (prokopim.bekasikab.go,id, 17 Maret 2023) menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan laporan keuangan ini ialah untuk menilai kesesuaian dengan Standap Akuntansi Pemerintahan (SAP), menilai efektifitas Sistem Pengendalian Intern (SPI), menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan menilai kecukupan pengungkapan.
Selain itu ia juga berpendapat bahwa hal yang mempengaruhi pemerintah daerah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yakni pembatasan lingkup, pelanggaran standar akuntansi dan kecurangan.
Berkaitan dengan potensi kecurangan, merujuk pada Association of Certified Fraud Examinations (ACFE2000), ia mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok. Pertama, Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud).
Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial. Kedua, Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation). Penyalahagunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’ dan ‘Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya’, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement).
Dan ketiga, Korupsi (Corruption). Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).
Dari hasil LHP BPK, hal yang menjadi penyebab pemerintah daerah kabupaten Bekasi mendapatkan opini WDP, antara lain; Penyerapan bahan bakar solar di Dinas Lingkungan Hidup diduga mengalami kerugian sekitar 12 miliar; Pengawasan Aset yang tidak maksimal pada Dinas Pendidikan dan DPMD; Pelaksanaan lelang yang tidak maksimal pada Dinas Cipta Karya.
Atas temuan tersebut, semestinya menjadi pemicu bagi eksekutif pada pemerintah daerah kabupaten Bekasi, siapapun pemimpinnya, untuk memperbaiki diri dengan meningkatkan kemampuan dalam pencegahan dan deteksi kecurangan.
Pertama, Pencegahan kecurangan merupakan aktivitas yang dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan pimpinan OPD dan jajarannya untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 (tiga) tujuan pokok yaitu ; keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum & peraturan yang berlaku.
Kedua, Kecurangan harus dicegah dengan cara; Membangun struktur pengendalian intern yang baik; Mengefektifkan aktivitas pengendalian; Meningkatkan kultur organisasi; dan Mengefektifkan fungsi internal audit. Selain kemampuan tersebut, kemampuan Analytical review, Statistical sampling dan kerelaan untuk melalukan Site visit – observation menjadi hal penting untuk dilakukan. Pejabat publik pun diharapkan rela memberi ruang bagi pengawasan oleh masyarakat (audit sosial) terhadap proyek-proyek pemerintah daerah.
Pejabat publik harus berani keluar dari zona nyaman, keluar untuk melakukan observasi ke lokasi sehingga dapat mengungkapkan ada tidaknya pengendalian intern di lokasi-lokasi kegiatan pembangunan dari sejak sebelum memperoleh WTD. Bukan seperti birokrat yang kebakaran jenggot karena dapat status WDP, lalu ada yang merubah gaya, terburu-turun turun ke lapangan mengecek kondisi jalan rusak.
Bahkan ada ‘nada bernyanyi” salah satu anggota legislatif Deltamas yang mengutarakan kekecewaannya atas raihan opini WDP dan berpendapat bahwa opini WDP menunjukkan buruknya kinerja Penjabat Bupati Bekasi.
Menarik memang untuk mengelaborasi peran legislatif deltamas pasca opini WDP. Sejatinya, Legislatif Deltamas sebagai Pemegang Fungsi Pengawasan (Controlling) dan Fungsi Anggaran (Budget) tetap berperan besar dengan menggunakan hak-hak politiknya yaitu hak bertanya (angket), hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat, sejak perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi atas APBD/APBD Perubahan pada pemerintah daerah Kab Bekasi tahun anggaran 2022, bahkan pada saat pasca diterimanya LHP BPK atas LKPD Kab Bekasi TA 2022.
Legislatif deltamas semestinya dapat memastikan bahwa eksekutif pada Pemerintah daerah kab Bekasi bersungguh-sungguh memperbaiki pengelolaan keuangan Negara, yang mana salah satunya adalah melalui pelaksanaan rekomendasi BPK.
Legislatif deltamas diharapkan dapat secara profesional menggunakan hak-hak politiknya. Apalagi, legislatif dan BPK mempunyai hubungan fungsional secara timbal balik, bahwa hasil pemeriksaan/pengawasan yang dilakukan oleh BPK merupakan bahan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Sedangkan legislatif dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut dapat meminta kepada BPK untuk melakukan tindakan tertentu sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan dan legislatif dapat meminta kepada BPK untuk melakukan atau mengaudit terhadap unsur yang dipandang oleh legislatif untuk ditindaklanjuti yang berkaitan dengan proses penyelesaian terhadap pengelolaan keuangan Negara.
Dengan demikian, akuntabilitas keuangan daerah/negara menjadi tantangan tersendiri bagi birokrat dan legislatif deltamas, apakah bisa meningkatkan akuntabilitas atau kian meneguhkan buruk rupa pengelolaan keuangan, dengan status WDP yang disandangnya. Ini menjadi PR yang harus dikerjakan dengan seksama. Buat apa WTP jika angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, Buat apa pencitraan pendapatan daerah surplus tetapi banyak jalan-jalan kabupaten dan pemukiman yang tak layak guna dan berakhir dengan mendapatkan WDP ?. (*)