Opini - 12 September 2022

Dialektika PTSL

Oleh :
Izhar Ma’sum Rosadi, Warga Kab. Bekasi Jawa Barat, Ketua Umum Perkumpulan Baladaya

Infobaru.co.id, Bekasi – PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) merupakan wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah masyarakat.

Selain itu nantinya masyarakat yang telah mendapatkan sertipkat dapat menjadikan sertipikat tersebut sebagai modal pendampingan usaha yang berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Dalam perkembangannya, Pendaftaran Tanah Sistematis yang dilaksanakan desa demi desa di wilayah kabupaten dan kelurahan demi kelurahan di wilayah perkotaan yang meliputi semua bidang tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menjadi Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Kebijakan ini menjadi Program Strategis Nasional dengan konsep membangun data bidang tanah baru dan sekaligus menjaga kualitas data bidang tanah yang ada agar seluruh bidang-bidang tanah terdaftar lengkap dan akurat.

Landasan Aturan PTSL

Sabarudin Hulu, Asisten Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah (2018) dalam tulisannya yang berjudul ” Cegah Maladministrasi dalam penyelenggaraan program PTSL”, menguraikan bahwa Aturan terkait pelaksanaan program PTSL, seyogianya sudah jelas. Bahkan telah terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang meliputi Menteri Agraria dan Tata ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor: 25/SKB/V/2017, Nomor: 590-3167A Tahun 2017, Nomor: 34 Tahun 2017 tanggal 22 Mei 2017 tentang pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis.

SKB 3 Menteri sudah ditentukan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat peserta PTSL. Untuk wilayah Kategori I sebesar Rp. 450.000, Kategori II sebesar Rp. 350.000, Kategori III Rp. 250.000, Kategori IV Rp. 200.000, Kategori V Jawa dan Bali biaya yang ditanggung masyarakat sebesar Rp 150.000.

Rinciannya untuk pembiayaan penggandaan dokumen, pengangkutan dan pemasangan patok, transportasi petugas kelurahan/desa dari kantor kelurahan/desa ke kantor pertanahan dalam perbaikan dokumen yang diperlukan.
Lalu kemudian, BPK RI dalam laporan Hasil Pemeriksaan tentang PTSL bahwa dalam paragraph penjelas menguraikan bahwa Program PTSL tidak dipungut biaya. Peserta PTSL hanya dibebankan biaya pra PTSL yang digunakan untuk membayar kegiatan penyediaan dokumen (surat tanah untuk tanah yang belum memiliki surat tanah), pembuatan dan pemasangan tanda batas dan materai, dan kegiatan operasional petugas kelurahan/desa.

Pembebanan biaya pra PTSL telah diatur sebagaimana dinyatakan oleh Sabarudin hulu di atas.

Pada tataran prakteknya bisa berbeda jika tidak ada pengawasan ketat, maka potensi pelanggaran dan atau Pungli PTSL sangat mungkin bisa terjadi.

Sebagai contoh, untuk di kabupaten Bekasi, pemberitaan online mengenai pungli PTSLmarak terjadi.
Pertama, Media Online Palapa Pos, menurunkan berita dengan judul “ Warga Kabupaten Bekasi Keluhkan Program PTSL Presiden Disalahgunakan”. Berita tersebut menguraikan bahwa Warga Kecamatan Cabangbungin, Kedungwaringin, dan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mengeluhkan program Presiden RI, Joko Widodo terkait Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) disalahgunakan sejumlah oknum dengan menarik biaya pengurusan sertifikat tanah mulai dari Rp500.000 hingga Rp3.000.000 per sebidang tanah (https://palapapos.co.id/listing/view/6523/10/warga-kabupaten-bekasi-keluhkan-program-ptsl-presiden-disalahgunakan).

Kedua, Media Online Warta Terkini News menurunkan berita dengan judul “Dugaan Pungli PTSL, Warga Kertarahayu Diminta Biaya Administrasi Hingga 1,5 Juta”. Berita tersebut menguraikan bahwa Dugaan aksi pungli Program Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) oleh salah satu perangkat Desa Kertarahyu, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, ramai diperbincangkan oleh warga melalui aplikasi pesan singkat whatsapp.(https://wartaterkini.news/dugaan-pungli-ptsl-warga-kertarahayu-diminta-biaya-administrasi-hingga-15-juta/).

Ketiga, Media Online Pikiran Rakyat. Com menurunkan berita dengan judul “Warga Kabupaten Bekasi Laporkan Dugaan Pungli pada Pembuatan Sertifikat Tanah PTSL”. Berita tersebut menguraikan bahwa Warga di dua kecamatan, yakni Cabangbungin dan Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi mengeluhkan adanya biaya pengurusan sertifikat tanah pada program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Warga dikenai biaya mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 3 juta per satu bidang tanah. “Saya bingungnya ini kan katanya programnya gratis dari Pak Jokowi tapi ini saya harus bayar. Katanya biar cepet, terus soalnya ada ini itu,” kata H (35) salah seorang warga Desa Sindangsari Kecamatan Cabangbungin, Senin, 30 September 2019.(https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01320211/warga-kabupaten-bekasi-laporkan-dugaan-pungli-pada-pembuatan-sertifikat-tanah-ptsl).

Keempat, Media Online Harian Sederhana pada 5 November 2020 lalu menurunkan berita dengan judul “Ada Dugaan Pungli PTSL di Tanjung Baru, Camat Cikarang Timur Akan Tindaklanjuti”. Berita tersebut menguraikan bahwa Ani selaku Camat Cikarang Timur akan menindaklanjuti informasi terkait dugaan pungutan liar atau pungli yang dilakukan aparat Desa Tanjung Baru, Cikarang Timur dalam pembuatan sertifikat tanah program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Kelima, Media Online Pos Publik pada 22  Agustus 2021 menurunkan berita dengan judul “Program PTSL Untuk Desa Jatibaru Diduga Jadi Ajang Pungli”. Berita tersebut menguraikan bahwa Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Jatibaru, Kecamatan Cikarang Timur, diduga jadi ajang pungli oleh oknum pegawai Pemerintahan Desa. Dugaan itu diperkuat keterangan warga yang ikut mendaftarkan tanahnya melalui program PTSL tersebut. Seperti pengakuan salah seorang warga berinisial ‘S’ kepada pospublik.co.id, dia wajib membayar Rp.500.000,- kepada Ketua RT dengan alasan biaya administrasi. Menurut S, warga lainnya juga mengaku dipungli Rp.500.000,- oleh Ketua RT, dan uang itu disebut akan disetorkan ke Sekretaris Desa (Sekdes) Jati Baru.

Keenam, Media Online Radar Bekasi menurunkan berita dengan judul “Dugaan Pungli PTSL, Warga Diminta Biaya Administrasi Rp 3 Juta”. Berita tersebut menguraikan bahwa Dugaan adanya pungutan liar (pungli) biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), dilakukan oleh salah satu perangkat Desa Kertarahayu, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, menjadi perbincangan warga melalui aplikasi Whatsapp. Beredar sebuah gambar seorang pria yang merupakan Ketua RT 008, RW 004, Desa Kertarahayu, Kecamatan Setu, tengah menerima uang dalam pecahan Rp 100 ribu dengan total Rp 3 juta dari salah satu warga, sebagai biaya administrasi pengurusan PTSL atas dua bidang tanah(https://radarbekasi.id/2021/10/15/dugaan-pungli-ptsl-warga-diminta-biaya-administrasi-rp-3-juta/).

Ketujuh, Media Online Kompas.Com menurunkan berita dengan judul “Cerita Warga Bekasi Ditarik Jutaan Rupiah Saat Urus Sertifikat Tanah Lewat Program PTSL”.
Dan masih ada lagi  pemberitaan yang lain, termasuk berita online penangkapan Kades Lambangsari dan Kades Cibuntu.

Pihak yang berperan dalam memberantas pungutan liar

Salah satu kebijakan pemerintah yang dibuat untuk mencegah dan memberantas kejahatan dibidang pungutan liar adalah berupa Perpres No: 87 Tahun 2016 ini, yang dikenal dengan Saber Pungli. Perpres merupakan salah satu produk hukum, yakni dikeluarkan oleh Presiden sebagai langkah kebijakan guna mengatasi perkembangan konfigurasi politik. Politik disini diartikan penulis sebagai perkembangan politik hukum dibidang politik hukum pidana. Terkait dikeluarkannya Perpres No. 87 ini dari Presiden Joko Widodo maka karakter Perpres ini responsif dalam mencegah kejahatan pungutan liar yang marak sedang terjadi. Semua langkah kebijakan yang dicanangkan tersebut sudah tentu dilengkapi dengan perangkat aturan sanksi, terutama sanksi penal (penal policy) untuk tegaknya hukum pidana dalam penegakan hukum yang berkeadilan (due process of law).

Satgas Saber Pungli berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Satgas Saber Pungli mempunyai wewenang: a. Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar; b. Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi; c. Mengoordinasikan,merencanakan, dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar; d. Melakukan operasi tangkap tangan; e. Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah; dan g. Melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan liar.
Adapun susunan organisasi Satgas Saber Pungli terdiri atas: 1. Pengendali/Penanggung jawab : Menko bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Ketua Pelaksana : Inspektur Pengawasan Umum Polri; 3. Wakil Ketua Pelaksana I : Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri; 4. Wakil Ketua Pelaksana II : Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan; 5. Sekretaris : Staf Ahli di lingkungan Kemenko bidang Polhukam;
6. Anggota : a. Polri; b. Kejaksaan Agung; c. Kementerian Dalam Negeri;
d. Kementerian Hukum dan HAM; e. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
f. Ombudsman RI; g. Badan Intelijen Negara (BIN); dan h. Polisi Militer TNI.

Perpres juga menegaskan, masyarakat dapat berperan serta dalam pemberantasan pungutan liar, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media elektronik atau non elektronik, dalam bentuk pemberian informasi, pengaduan, pelaporan, dan/atau bentuk lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bila masyarakat aktif akan banyak laporan terkait pungli pada pelayanan publik, baik di pusat maupun daerah. Partisipasi publik dipercaya menentukan keberhasilan pemberantasan pungli. Menghapuskan pungli dari Indonesia bisa memberikan kepercayaan bagi investor, dan masyarakat jadi percaya hukum dapat ditegakkan.

Mengapa ada orang atau kelompok yang merasa bisa leluasa melanggar aturan biaya PTSL? Hemat saya, salah satu musababnya adalah karena diduga ada orang atau kelompok yang merasa bahwa mereka adalah “orang istimewa” di tengah-tengah masyarakat. Perasaan menjadi “istimewa” itupun hanyalah akibat dari sekian musabab lain yang mungkin bisa beragam motifnya. Bisa karena ambisi hegemoni & dominasi, bahwa bisa saja mereka menekan orang lain untuk mau mendukung “Pola” yang sedang mereka mainkan. Ini salah satu cara mereka mendominasi dan menghegemoni. Awalnya bisa saja memberitahu besaran “biaya polaan”nya; kalau warga tidak keberatan, dilayaninya, namun jika keberatan, bisa saja tak dilayaninya atau dikebelakangkan.  Jika ada warga yang bersuara, mereka bisa saja diciptakan efek rasa takut pada warga tersebut. Bisa karena merasa kebal hukum. Karena merasa punya pelindung yang sedang berkuasa. Bisa karena merasa memiliki teman-teman setia yang akan  membelanya meski ia bersalah. Karena berteman dengan mereka yang sedang punya kuasa. Banyak ragamnya.

Salah satu tantangan utama bangsa ini adalah kemampuan para pemangkunya dalam mengatasi secara benar orang-orang yang sudah “merasa diri mereka istimewa”. Mereka tidak hanya berani membuat aturan sendiri secara ilegal, tetapi juga merusak tatanan sosial yang sudah ada.

Oleh sebab itu, dalam mencegah Pungli pada pelaksanaan PTSL, pertama, perlu didorong kepada Kantor Pertanahan di Kabupaten/kota dan Pemda setempat guna melakukan sosialisasi atas SKB 3 (tiga) menteri terkait pembiayaan persiapan pendaftaran tanah sistematis, kedua Kantor Pertanahan dan Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pendampingan dalam memberikan pemahaman peraturan perundang-undangan terkait PTSL di Desa/Kelurahan, ketiga, kepala Desa/Lurah untuk melakukan berkonsultasi dengan Bagian Hukum di Pemda ataupun kepada Kejaksaan Negeri setempat. Sehingga, dengan dicegahnya pungli maka dicegah pula terjadinya perbuatan pidana dalam penyelenggaraan PTSL.

Jika para pengampu Negara ini tidak memaksimalkan  upaya pencegahan pungli  dan tetap memperlakukan “istimewa” orang-orang yang merasa diri mereka “istimewa”, maka daya rusaknya akan semakin luar biasa. Negara besar ini bisa terjerembab dalam kubangan besar minus ketauladanan. (*)

To Top