Infobaru.co.id, Jakarta – Masalah sengketa Tanah Adat antara masyarakat adat Desa Marfenfen, di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku dengan TNI AL hingga saat ini belum ada penyelesaian. Segala proses hukum telah ditempuh , saat ini tengah proses di Mahkamah Agung (MA).
Atas hal ini, Deputi I Kepala Staf Kepresidenan Febry Calvin Tetelepta menerima audiensi Masyarakat Adat Kepulauan Aru yang didampingi Anggota DPR RI Mercy Barens di Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha Jakarta, Selasa (23/8).
“Fakta hukum proses litigasi sementara berjalan di MA. Meski ruangnya sempit , tapi mesti ada titik temu ” terang Febry yang juga putra Maluku ini.
Pada kesempatan yang sama, Anggota DPR RI Mercy Barens menjelaskan terkait dengan pencabutan status adat masyarakat. ” Sebagai anggota DPR RI kami sangat terganggu. Mereka dicabut status adatnya, dan sepihak disampaikan bahwa lahan tersebut adalah milik negara dan tidak ada ganti rugi satu sen pun”, ungkap Mercy.
Ketua Majelis Adat Aru Ely Darakay menjelaskan ketika salah satu desa terganggu, maka secara komunal masyarakat Hukum Adat juga terganggu. ” Jika satu desa terganggu, maka kami semua secara komunal terganggu dengan adanya kasus ini. Kami meyakini di KSP ini ada jalan keluar ” , terangnya.
Sebagai tindak lanjut, Febry menjelaskan KSP akan fasilitasi dengan para pihak. Pertama dengan Menteri ATR/Kepala BPN agar memperoleh atensi perihal sengketa ini. Kedua, kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) perihal status hutan yang menjadi sengketa. Ketiga, juga tindak lanjut ke Panglima TNI untuk mendudukkan secara bijak konflik masyarakat Adat dengan TNI AL. Lalu terakhir, dengan Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu untuk memastikan status aset negara pada lahan objek sengketa.
Seperti diketahui, konflik lahan masyarakat adat Marfenfen ini sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal dari Januari 1992 saat aparat TNI AL mengklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marfenfen untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL Aru. Masyarakat Adat Marfenfen merasa pengambilalihan lahan mereka dilakukan secara paksa, sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung pada hutan jadi terganggu. (Ipu)