Oleh
Ahmad Mony: Sosiolog Pedesaan & Co-Founder Ruang Lestari Indonesia
Desa adat dan pemilihan kepala desa adat masih menyimpan diskursus dalam pengaturan desa adat ditengah persoalan-persoalan rumit tata kelola pemerintahan pada tingkat internal desa maupun supra struktur desa.
Desa dalam tinjauan sosio-antropologi memiliki banyak pengertian, namun mengingat wacana ini dibingkai dalam agenda Pilkades yang berkaitan dengan pengaturan formal negara, maka pengertian desa telah didepenisikan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Undang-undang desa secara eksplisit telah mengakui adanya desa adat serta pengaturan dan kewenangan yang melekat di dalamnya. Bahkan penyebutan desa adat boleh menggunakan nama lokal. Dalam hal ini, negeri menjadi term pengganti nama desa sebagai penyebutan komunitas masyarakat hukum adat yang ada di Maluku.
Media lokal saat ini sedang dihangatkan oleh wacana pemilihan kepala desa (pilkades) dan eksistensi masyarakat adat dalam rezim pemilihan kepala desa. Santer isu bahwa desa-desa adat di Kabupaten Seram Bagian Barat menolak pelaksanaan Pilkades dan menuntut pemerintah Kabupaten SBB menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan desa adat. Artinya, pengaturan dan kewenangan pemilihan kepala desa (adat) atau dalam konteks lokal kita kenal sebagai pemilihan raja negeri diserahkan ke desa. Alasannya adalah amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pertanyannya, apakah sesederhana itu memahami dan memaknai status, kewenangan dan pengaturan tata kelola desa adat? Desa adat sebagaimana diakui dalam undang-undang desa ternyata memiliki prasayarat dan bersifat prosedural. Untuk mendapat pengakuan pemerintah sebagai desa adat atau dalam istilah lain komunitas masyarakat hukum adat (MHA) harus ada tahapan yang dilakukan oleh pemerintah kab/kota. Adapun prasyarat sebuah desa diakui sebagai desa adat adalah memiliki sistem nilai, hukum adat, dan pranata sosial yang masih hidup, serta tidak bertentangan dengan NKRI. Lalu proseduralnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Untuk menuju ke pengakuan desa adat atau MHA itu dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota dengan membentuk panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota. Panitia ini akan bekerja melakukan identifikasi, verifikasi, validasi, dan pengakuan MHA.
Terdapat lima aspek yang akan diidentifikasi, yakni: sejarah Masyarakat Hukum Adat, wilayah Adat, hukum Adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; serta kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Jika lolos verifikasi dan validasi maka akan ditetapkan dengan peraturan daerah atau keputusan kepala daerah.
Transformasi Tata Kelola Desa di Maluku
Pasca terbitnya UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Maluku sejatinya telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku. Namun, rezim undang-undang ini telah dipecah menjadi tiga undang-undang yakni UU Pemerintahan Daerah, UU Desa, dan UU Pilkada. Nah, pasca implementasi UU Nomor. 6 Tahun 2014 tentang Desa, publik Maluku belum mengetahui tentang kelanjutan tata pengaturan desa adat atau negeri sebagai entitas sub-politik negara paling kecil dalam tata kelola desa adat di Maluku. Apakah Perda Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 sudah direvisi ataukah ada perda penggantinya yang sejenis.
Daerah yang progresif menerjemahkan UU No. 32 Tahun 2004 adalah Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah yang medio 2006 mengeluarkan lebih dari sepuluh paket perda yang mengatur tentang tata kelola desa, mulai dari Perda tentang negeri, perda tentang tata cara pemilihan kepala pemerintahan negeri, perda tentang saniri negeri, dan lainnya. Terlepas dari polemik dan kontroversi dalam implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang tata cara pencalonan, pemilihan dan pelantikan pemerintah negeri.
Kini, dengan adanya pengaturan desa adat dalam UU Desa seharusnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kemauan politik besar untuk menerjemahkannya dalam pengaturan ditingkat daerah dengan melibatkan masyarakat adat dalam berbagai level perencanaan, desain kebijakan, hingga implementasinya. Hal ini tidak berlebihan, karena semangat UU Desa adalah otomoni tata kelola pada sub-politik struktur negara yang bernama desa dan desa adat (self governing).
Pilkades Adat dan Tantangannya
Pertanyaan berikutnya, apakah desa adat yang meminta pengakuan formal negara sudah siap dalam menyelenggarakan kewenangan politik lokal dalam pemilihan kepala desa adat (raja negeri) di Maluku dalam rezim UU Desa? Setidaknya ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan di berbagai tingkat pengaturan agar pelaksanaan pilkades oleh masyarakat adat dapat dilakukan dengan baik, pertama, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota segera mengakselerasi pembentukan panitia masyarakat hukum adat di daerahnya untuk mulai bekerja melakukan identifikasi, verifikasi, validasi, dan pengakuan terhadap desa-desa adat di daerahnya. Hasil kerja dari panitia ini akan menjadi landasan formal penyelenggaraan pilkades langsung oleh desa.
Kedua, jika pemerintah daerah memiliki keterbatasan dalam hal kemampuan anggaran dan kapasitas sumberdaya, maka pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan kementerian/lembaga terkait dalam melakukan prosedur serupa. Pada arena sektoral terdapat Permen LHK Nomor 17 Tahun 2020 tentang Hutan adat dan Hutan Hak dengan arah ke pengakuan hutan adat dan masyarakat hutan adat yang ada di kawasan hutan. Untuk MHA yang mendiami wilayah pesisir dan pulau kecil terdapat pengaturan fasilitasi pengakuan MHA dan wilayah kelola adatnya yang ditatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola MHA dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketiga, pemilihan kepala desa (pilkades) atau pemilihan kepala pemerintahan negeri bukan sebuah proses yang sederhana dan mudah. Praktek demokrasi lokal ini pada beberapa kasus dalam dua dekade terakhir meninggalkan kompetisi tidak sehat, konflik di masyarakat, kevakuman kepemimpinan desa/negeri, serta dis-integrasi sosial di desa/negeri.
Ini menunjukan bahwa dinamika demokrasi di desa serta kesiapan pranata pemilihan pemerintah desa/negeri di Maluku belum memiliki format sebagai pembelajaran untuk diletakan dalam kerangka otonomi penyelenggaraan pilkades oleh masyarakat adat. Artinya, desa adat dan masyarakat adat harus melakukan pembenahan internal dalam wajah demokrasi serta desain politik lokal sebelum meminta otonomi penyelenggaraan pemilihan kepala desa atau pemeintahan negeri. (*)