Oleh
Rusdi Abidin
Pegiat Parliament Responsive Forum (Pamor)
Infobaru.co.id, Ambon – Masuknya PAN ke dalam partai koalisi pemerintah pada 25 Agustus 2021 saat hadir dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dan pimpinan partai pendukungnya tidaklah mengagetkan. Pasalnya kerinduan bergabung sudah lama terpendam & dikompromikan.
Tinggal menunggu waktu & moment yang tepat. Jelas sikap bergabung ketika pendiri PAN Amin Rais telah berproses dengan pendirian Partai Umat. Itu berarti Ketua Umum PAN tidak memiliki beban phsykologis terhadap Amin Rais. Langkah bergabungnya leluasa, sebagaimana Ia memastikan kepada partai koalisi blok istana bahwa kader PAN tidak akan bermain di banyak kaki setelah kekuatan Amien Rais tak ada lagi di partainya (Koran Tempo, 28 Agustus 2021).
Kerinduan bergabung juga dilatari oleh sikap politik yang berbeda antara pendiri partai Amin Rais dengan Ketua Umum Zulkifli Hasan dalam pilpres 2019. Zulkifli Hasan & beberapa tokoh Muhammadiyah secara personal memilih bersikap lebih condong ke capres Joko Widodo. Tetapi secara kepartaian akhirnya memutuskan mengikuti sikap politik Amin Rais yang berpihak pada Prabowo Subianto. Sejak periode pertama persaingan capres, sikap politik Amin Rais kokoh berpihak pada Prabowo Subianto.
Namun kemungkinan satu hal yang terpenting dari bergabungnya PAN adalah mengkonfermasi adanya saling merindukan antara pihak istana dengan saudara sejarahnya warga Muhammadiyah yang kebetulan direpresentasikan secara politik oleh PAN. Istana menginginkan formasi sosial dari PAN selain kekuatan politiknya di parlemen. Sebaliknya PAN juga merindukan keakraban dengan kekuasaan untuk melindungi kepentingannya. Tetapi dibalik kerinduan tersebut ada kecemasan atau ketakutan PAN akan perolehan suara di 2024.
Blok Kelompok Partai
Masuknya PAN, praktis menyisakan blok kelompok parlemen yang dihuni Partai Demokrat & PKS dengan 104 kursi atau 18,09 persen. Sementara yang berkantor di istana atau blok kelompok istana ada 471 kursi dari 575 kursi atau 81,91 persen. Keadaan tersebut tidak beda jauh dengan era Presiden SBY yang menyisakan PDIP sebagai blok parlemen.
Sikap bergabung PAN yang memperbesar kelompok istana adalah hal biasa saja. Sebagaimana ditunjukan lebih dulu oleh Partai Gerindra. Karena memang sifat koalisi partai mengusung pasangan capres hanya merujuk pada syarat keterpenuhan suara partai di parlemen & tidak ada ikatan etik politik demokrasi atas fungsi parlemen checks & balances. Olehnya itu pasca penetapan hasil capres, koalisi partai pengusung capres kalah perlahan menarik atau membubarkan diri dari koalisi. Sebaliknya koalisi pemenang terus berlanjut, lalu disebut koalisi pendukung pemerintah. Koalisi partai yang tidak permanen menjadi ciri watak yang dibentuk oleh frame politik identitas yang berkonsekuensi pada praktik multipartai. Ciri watak yang juga menekankan hubungan politik yang fleksibel diantara pemimpin partai, diantara partai dengan kekuasaan yang saling memberikan manfaat.
Dalam konteks itu maka 471 kursi parlemen disebut partai koalisi pemerintah hanya bisa dipahami sebatas proses kapitalisasi suara & ekuitas partai. Ini menjelasakan upaya strategi partai untuk menjaga & mempertahankan posisi jual politiknya. Sehingga mereka partai memperoleh insentif dari kekuasaan baik dalam penjatahan kursi kabinet maupun pengamanan perolehan suara partai di pemilu berikutnya.
Tetapi juga adalah efek dari derajat pengendalian kekuasaan oleh kelompok elit dominan berkuasa atau oligarki. Dalam hubungan tersebut secara alamiah merangsang sikap pemimpin partai untuk cenderung membentuk diri seolah sebagai blok kelompok partai istana. Blok merujuk pada bersatunya partai politik untuk memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan politik.
Koalisi partai yang tidak permanen menekankan pada sarat pola akomodasi terhadap pandangan pragmatis, parsialitas & sentimen emosional seperti kepentingan, semangat, keakraban atau juga kecemasan berkenan dengan perselisihan elit. Bukan pada pilihan persaingan ide & sikap atas garis politik partai untuk menentukan keberpihakannya pada percaturan politik ekonomi global dalam frame negara demokrasi & demokratisasi (pasca kolonial) ke dalam negeri.
Percaturan dimaksud yaitu kemampuan menegaskan sikap politik partai terhadap garis politik demokrasi yang seyogya dianuti. Apakah pada garis demokrasi neoliberal (state market), garis demokrasi sosialis, atau garis neoliberal otokrasi negara (state center). Termasuk ide nasionalis neoliberal, nasionalis sosialis dan lain sebaganya. Karena ketiadaan ide & sikap politik partai tersebut maka 471 kursi partai itu adalah kursi dari kepentingan, semangat, keakraban atau juga kecemasan yang berada dalam genggaman pengendalian kelompok elit dominan berkuasa. Demikian pula 104 kursi milik Partai Demokrat & PKS
Olehnya itu sekalipun kita memiliki model pilpres langsung dengan usungan partai atau koalisi yang relatif berimbang dalam kepemilikan kursi parlemen, tetapi itu tidak menjamin bersama pasca pilpres, terutama bagi partai koalisi yang kalah. Sebab kalah seolah menghadirkan kecemasan atau ketakutan, anjloknya harga diri pemimpin partai & seterusnya. Dalam suasana demikian, koalisi partai kalah maupun yang koalisi partai pemenang capres serta kelompok elit dominan berkuasa mencari cara atau pola interaksi komunikasi yang dapat mencairkan ketegangan & beku dalam hubungan politik pasca pilpres.
Seringkali pola yang dibentuk dengan mengalirkan semangat emosional keakraban & kepentingan yang dapat menjamin ekspetasi politik semua pihak. Jaminan tersebut biasanya diwadahi atau dalam kadar pengendalian kelompok elit dominan berkuasa yang bertindak sebagai patron kekuasaan & partai. Dengan itu hubungan yang beku antar partai, antar pimpinan partai dengan kekuasaan bisa cepat mencair.
Pembentukan hubungan antar partai sedemikian rupa itu tidak lepas hubungan patronase & klientis dalam pengelolaan partai. Tokoh kharismatik & pimpinan partai sebagai patron dalam partai memiliki kekuatan veto memutusakan relasi kebutuhan & kepentingan ke luar partai, terutama berhubungan dengan kelompok elit dominan berkuasa. Keputusan politik ada di tangan mereka. Potret pembentukan koalisi partai mengusung capres hingga terpilih menyerupai kelompok atau klien yang dikendalikan oleh patron kelompok dominan berkuasa.
Tentu beruntung bagi partai yang memiliki tokoh kharismatik & juga adalah pemimpin partai. Umumnya keputusan politik yang diambil tokoh kharismatik dapat diterima & ditaati pengurus partai. Berbeda jika pimpinan partai tidak memiliki ketokohan kharismatik maka sikap politiknya tidak bisa diekspresikan terbuka. Selalu menunggu waktu & relasi kuasa yang tepat barulah sikap politik itu ditunjukan. Sikap ekspresif klien dalam politik partai biasanya menunggu berakhirnya umur pengaruh tokoh kharismatik partai. Umur tersebut berjalan seiring umur kekuasaan. Ketika pengaruh kekuasaannya memudar disaat itulah ketokohannya pun memudar. Disitulah hubungan patron & klien dalam partai terbelah dalam pengambilan keputusan politik.
Selain itu kadar terbelah juga dilatari oleh perbedaan selera sosial yang dibentuk dalam pergaulan – keakraban pertemanan, relasi bisnis, hubungan yang bersifat emosional yang datang dari kesamaan suku, asal wilayah mukim, agama, kelompok politik & kekerabatan. Hubungan tersebut seringkali menjadi dasar pengambilan keputusan politik partai & mengakibatkan partai terbelah menjadi dualisme kepemimpinan. Atau mendesak salah satu pihak keluar mendirikan partai baru.
Walau begitu, hal terpenting yang mestinya dicerna dari perselisihan elit dalam partai yang berakibat munculnya dualisme pengurus partai, pendirian partai baru maupun sikap bergabung kedalam blok kelompok partai istana tidak menjelaskan suatu pembaharuan politik & proses demokratisasi. Selain hanya upaya mempertahankan atau memperkuat kedudukan partai dalam kekuasaan yang dijamin oleh kelompok dominan berkuasa.
Presidensial Semu
Praktik multipartai ekstrem pada akhirnya memaksa sistem politik demokrasi kita tidak tunduk pada sistem presidensial. Adalah pengaruh partai yang begitu besar terhadap capres menjadi sebab sistem presidensial kita samar. Condong pada praktik “parlementer”, atau sebutan diluar pakem sebagai presidensial semu. Parlemen rasa istana”. Presiden menyerupai perdana menteri yang mengepalai partai di parlemen & membentuk kabinet. Sama persis jalannya parlementer di era 1950 – 1959. Hanya berbeda era ini tidak ada sebutan perdana menteri. Praktik politik yang menciptakan hubungan parlemen – eksekutif cenderung bersifat checks & rechecks bukan checks & balances. Pengaruh partai yang begitu kuat dalam sistem presidensial, karena konsititusi mengamanahkan hal itu, berkenan dengan “tiket pencapresan” harus melalui partai atau gabungan partai politik.
Tetapi juga pengaruh partai yang begitu besar itu hanya untuk mengukuhkan pengaruhnya semata atas kekuasaan politik. Tidak untuk tujuan demokratisasi, mengarahkan suatu tatanan transisi demokrasi kepada rezim kekuasaan lebih demokratis. Fakta bubarnya koalisi partai pengusung capres yang kalah & perlahan ikut bergabung mengumpal pada koalisi partai politik yang disebut sebagai pendukung pemerintah adalah contoh bagaimana upaya mengukuhkan pengaruhnya atas kekuasaan presidensial.
Pada titik itu menunjukan suatu derajat persaingan politik semu demokrasi. Artinya membenarkan bahwa koalisi partai usungan capres hanyalah koalisi sesaat untuk tujuan berkuasa. Bukan bersaing menguji & memperjuangkan ide serta kebijakan politik kesejahteraan di parlemen. Partai tidak bekerja menurut ide & garis politik ideologisnya itu. Melainkan bekerja disesuaikan dengan karakteristik elektoral & citra rasa pasar yang dimobilisasi oleh kapital uang.
Persaingan semu demokrasi dilakoni partai sebenarnya didasarkan pada karakteristik pemilih yang cenderung memilih posisi aman di tengah menghindari serangan & tekanan politik isu stigmanisasi keras atau radikalis di sisi kanan atau stigma komunis di sisi kiri. Sehingga pemilih urban & tradisionil cenderung menghindari ancaman & berlindung pada partai-partai yang memenangkan persaingan pilpres. Atau memilih partai-partai bersikap di tengah yang melebeli diri dengan jargon nasionalis. Tentu pilihan itu bersifat pragmatis yang berkenan dengan pengalaman akan tekanan kekuasaan.
Pengalaman yang sama tersebut akan mendorong partai berkumpul di titik istana ketimbang di titik parlemen. Sebaliknya di titik parlemen menyisakan satu atau dua partai. Mengumpal bukan dalam posisi fungsi parlemen. Tetapi fungsi istana dengan mendistribusikan kader partai dalam kabinet. Semua partai yang mengumpal dalam kelompok partai pemerintah mendapat jatah kursi kabinet. Atas dasar posisi partai-partai tersebut maka bisa disebut sebagai “kelompok partai blok istana”. Kelompok partai ini yang mengambil sebagian besar peran kekuasaan presidensial hingga seolah mereduksi sistem presidensial & menggiringnya menjadi kepala para pemimpin partai politik di parlemen. Dengan posisi tersebut partai dirasakan tetap eksis sepanjang massa.
Ciri Pahit Politik Kekuasaan
Bergabungnya PAN dalam blok kelompok partai istana mengkonfermasikan adanya kecemasan atau ketakutan akan nasib pimpinan partai & beratnya peta persaingan elektoral di 2024 jika melihat trend elektoral PAN yang terbilang dilematis. Kepentingan personal pemimpin partai & keberlangsungan partai harus terjawab secara bersamaan di masa datang. Kekalahan dalam pilpres secara beruntun, terbelahnya tokoh sentral dalam basis utama partai & merosotnya suara partai dalam pemilu merupakan faktor koalisi menjadi keharusan. Semua itu tidak berlebihan bila dikatakan adalah kenangan pahit bagi PAN, hingga mereproduksi kecemasan atau ketakutan bagi pemimpin partai.
Hasil pileg 2019, menempatkan PAN di urutan 8 dalam perolehan suara nasional dengan raihan suara sebanyak 6.84 persen atau meraup 9,5 juta suara. Sedikit lebih baik dari PPP. Bahkan PAN tidak memperoleh kursi DPR dari basisnya di Jawa Tengah & hanya 1 kursi dari Yogyakarta. Total perolehan kursi di pulau Jawa hanya meraih 17 kursi atau 5,45 persen, unggul sedikit dari PPP yang hanya meraih 11 kursi atau 3,53 persen. Di pulau Sumatera sebagai representasi basis ketua umumnya PAN hanya meraih kursi sebanyak 10,79 persen. Bahkan di Lampung asal basisnya kalah dari PDIP & Golkar.
Memang belum bisa dikatakan anjlok, tetapi hengkangnya tokoh reformis & pendiri PAN Amin Rais, berdampak besar bagi penurunan perolehan kursi DPR RI di pulau Jawa sebagai basis utamanya setelah PKB. Praktis itu memberikan gambaran perolehan suara parlemen PAN relatif tidak aman di 2024. Bahkan potensial tereleminasi dari parlemen. Sebab partai umat yang didirikan Amin Rais ketika lolos melaju di 2024, bakal mengerus basis suara PAN.
Keadaan itu tentunya tidak cukup mengangkat kepercayaan diri pemimpin partai untuk bicara optimis soal keunggulan elektoral. Ini semacam menjadi “ciri pahit” dari lakon partai yang terkadang membiking kapok. Boleh dikatakan hal tersebut menjadi kenangan yang menghantui hingga membentuk sikap pengambilan keputusan politik yang oleh Horowitz digambarkan menonjolkan sikap tentang apa saja yang perlu dihindari, bukan apa saja yang sebaiknya dipilih.
Lanjut Horowitz menjelaskan para pemimpin pemimpin politik memiliki tujuan-tujuan sendiri. Mereka ingin mewujudkan kepentingan pribadi & kepentingan partainya sendiri. Namun seringkali mereka salah menilai atas kepentingan – kepentingan apa saja yang mereka ingini. Benang merah atas pendapat di atas, cukup terlihat dari sikap PAN bergabung ke blok kelompok partai istana. Sikap tersebut sudah diperhitungkan akan memberikan energi pragmatis bagi PAN & blok istana, selain yang utama energi etik terkait dengan upaya menentukan & membentuk arah politik nasional oleh pemimpin partai secara bersama dengan kelompok dominan berkuasa.
Dengan sikap yang telah diambil PAN, untuk sementara waktu sudah bisa membunuh rasa pahit & rasa takut dari pemimpin partai dalam menghadapi pileg & polres 2024. Demikian halnya blok kelompok partai istana & kelompok dominan berkuasa merasa leluasa memperhitungkan & mengantisipasi segala resiko yang dihadapi kedepan terutama terkait dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo periode kedua.
Isu Amandemen Konstitusi
Dengan menguasai kursi parlemen secara dominan, koalisi partai blok istana hampir membenarkan sinyal amandemen UUD 1945 bisa digulirkan sebagaimana yang telah diisukan terkait dengan “penambahan periode jabatan presiden & perpanjangan masa jabatan”. Peluang menguasai kursi MPR sangat terbuka lebar. Karena hanya membutuhkan sekurang – kurangnya sepertiga dari 711 jumlah kursi anggota MPR.
Jika pun benar, pertanyaannya apakah keinginan amandemen konstitusi tersebut adalah jalan untuk membentuk tatanan sistem pemerintahan yang lebih demokratis?. Ataukah hanyalah cara dari praktik masa lalu yang diadopsi demi alasan tertentu dari kelompok dominan berkuasa dengan atau mengalibikan keselamatan negara sebagai konsekuensi praktik demokrasi neoliberal yang mengarah pada praktik nondemokratik – otoriterianis?.
Koalisi partai yang mengumpal kepentingan politik ke sisi istana ketimbang sisi parlemen menjadi cara unik, jika tidak bisa dikatakan aneh. Sebab cara koalisi atau berkelompok tersebut dapat dilatari oleh sumber keputusan pembentukannya oleh banyak varian yang tidak bersifat ideologis. John Elster, menyebutkan sumber pengambilan keputusan politik secara umum adalah akal, semangat & kepentingan. Di Indonesia, sumbernya akal, kepentingan, keakraban & ketakutan.
Sumber pembentukan keputusan tersebut umumnya berangkat dari pemahaman sejarah kelam politik bangsa. Hal itu berulangkali menjadi alasan utama untuk membentuk koalisi banyak partai pendukung pemerintah. Dengan cara tersebut pemimpin partai politik & kelompok dominan berkuasa dalam mengelola negara dapat menghindari perselisihan politik partai & meredam perpecahan sosial yang muncul dipermukaan dalam momentum pemilu.
Mengacu pada fakta pemilu & pilpres 2019 yang terbukti mengiring anak bangsa terbelah ekstrem dalam mendukung capres kiranya cukup menjadi alasan untuk mempertimbangkan stabilitas politik & alih kepemimpinan nasional menghadapi pemilu & pilpres 2024. Mencegah perselisihan & merdem perpecahan sosial serta mengatasi problematik politik ekonomi nasional.
Bagaimanapun publik kritis membaca & memahami akal-akalan persaingan politik capres & perilaku partai esklusif serta oligarki. Maka sangat mungkin muncul kejenuhan & pesimistik terhadap proses demokrasi prosedural kedepan. Kinerja partai politik tidak menghasilkan tatanan yang lebih demokratis. Atas fakta tersebut sangat mungkin isu amandemen konstitusi mencuat. Karena dianggap sebagai jalan keluar konstitusional & kecurigaan akan kemandekan proseduralistik.
Pembenaran atas isu amandemen relevan jika mencermati trend mengumpal partai politik di blok istana yang ditandai dengan masuk Partai Gerindara & PAN. Dapat dipahami mengapa kedua partai tersebut bergabung kedalam blok istana. Misalkan kehadiran PAN tidak dilihat sekedar representasi partai yang lahir dari rahim reformasi. Tetapi sebagai representasi formasi sosial & saluran aspirasi politik warga Muhammadiyah yang telah dibentuk oleh Amin Rais & sejumlah restu tokoh-tokohnya.
Pandangan ini dimungkinkan jika didasarkan pada PAN yang tetap dianggap sebagai representasi politik warga Muhammadiyah seperti halnya PKB representasi warga NU. Kedua partai tersebut diperlukan kelompok kekuasaan sebagai basis legitimasi sosial dari kedua organisasi Islam terbesar. Dengan begitu upaya membahas berbagai kemungkinan & arah politik nasional dapat berlangsung, termasuk kemungkinan amandem UUD.
Dalam konteks itu kiranya pemimpin nasional & kelompok dominan berkuasa menemukan relevansi kepentingan & keinginan mengakrabi formasi sosial yang terrepresentatif di PAN sehingga menjawab banyak masalah yang dihadapi. Sementara bagi PAN sendiri kepentingan kue istana bisa terjatahi & mengatasi ketakutannya akan personalitas pemimpin partai & jaminan atas perolehan suara di pemilu 2024.
Walau pada akhirnya cara unik itu tidak dapat menjelaskan hubungan timbal balik demokratik. Selain mengisaratkan kematian demokrasi di parlemen. Namun sangat mungkin dengan cara tersebut dipandang sebagai jawaban mengatasi kemajemukan bangsa yang ekstrem sehingga pada momentumnya terhindar dari perpecahan sosial.
Pada bagian lain yang sangat prinsipil isu amandemen konstitusi memiliki resonasi dengan tanggung jawab terhadap keadaan politik ekonomi nasional yang tunduk pada produk-produk politik & ekonomi pasar global, termasuk bertalian dengan kontrol atas utang luar negeri yang membengkak. Praktik pembiayaan politik nasional yang menguras anggaran & cadangan devisa negara serta keberlangsungan stabilitas perekonomian nasional. Jika dicermati lebih jauh sangat mungkin juga berkenan dengan kinerja partai politik & sistem multipartai tidak memjamin produktifitas perekonomian ekonomi nasional. Ini membenarkan tesis politik demokrasi di negara dunia ketiga menyebutkan bahwa hasil demokrasi proseduralistik & kebebasan politik tidak menyumbang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi & kesejahteraan, selain untuk kebebasan itu sendiri.
Arah Politik Nasional
Sebagaimana disampaikan sebelum bahwa partai politik sebagai penopang kekuasaan sebenarnya berada dalam kekuatan pengaruh kelompok elit dominan berkuasa. Pengaruh tersebut juga termasuk mengendalikan & mengarahkan sistem politik nasional yang didalamnya berkenaan dengan sistim multipartai ekstrem, sistem presidensial & parlemen.
Dari gambaran di atas sulit dikatakan bahwa kita akan tumbuh sebagai negara demokratik yang wajar. Itu bukan karena tidak pro demokrasi. Tetapi realitas sosio politik berulangkali mempertegas pemahaman sejarah perselisihan politik yang terus menghantui. Pemahaman itulah yang mengarahkan elit & pimpinan partai membentuk pola pengelolaan pemerintahan nasional mengikuti & mengulangi garis sejarah yang dijalankan rezim politik pendahulu.
Dalam cakupan pemahaman tersebut, demokrasi tidak lebih dari desain formil untuk meminimalisir resiko perpecahan sosial dengan cara melembagakan konflik sosial kedalam partai politik. Itu juga bisa dipahami mengapa multipartai ekstrem awet terpelihara. Apalagi sistem multipartai bukan barang baru dalam bangunan politik negara. Melainkan praktik berulang yang tidak selesai dalam perselisihan politik.
Mengulangi garis sejarah politik demokrasi nasional hanyalah cara untuk terhindar dari perselisihan elit & mencegah perpecahan sosial. Karenanya ada ketaatan mengikuti garis sejarah politik tetapi juga kewaspadaan dalam mengelola. Sebab bagaimana pun kebebasan politik hidup beriringan dengan perpecahan sosial, sehingga memberikan efek kontradiktif bagi demokrasi. Menjamin kebebasan politik di tengah perpecahan sosial tentu beresiko terhadap stabilitas politik demokrasi itu sendiri. Sebaliknya pengendalian stabilitas politik untuk menjamin ide pembangunan ekonomi sangat mungkin mengancam kebebasan politik.
Garis sejarah politik juga memandu bagaimana mengorientasikan ide pembangunan ekonomi nasional secara fisik untuk kepentingan kesejahteraan sebagaimana yang telah dikoridorkan oleh mazhab neoliberal & kehendak daya saing internasional. Namun kepentingan atas ide pembangunan tidak mudah dimanifestasikan. Di satu pihak bisa dirasakan sebagai keterdesakan karena realita kemiskinan bangsa & ketimpangan politik ekonomi. Di lain pihak, dilihat sebagai agenda monopolistik & mengakumulasikan harta kekayaan untuk motif politik berkuasa, dengan memanfaatkan isu pembangunan bangsa, perpecahan sosial & perselisihan elit yang berakar pada politik aliran.
Hubungan yang bertolak belakang pada gilirannya menciptakan pola kompromistis & otokratis dalam pengambilan keputusan politik demokrasi nasional yang cenderung terdesak. Kecenderungan dimaksud berkenang dengan derajat kepentingan politik pembangunan & kesejahteraan harus dilaksanakan. Tetapi harus memperhitungkan seluruh kepentingan pimpinan partai baik dalam kepentingan anggaran & kursi kekuasaan maupun keterlibatan bisnis serta kebijakan & aturan yang pro partai. Maka diperlukan sikap kompromistis agar terhindar dari perselisihan elit partai.
Tetapi efeknya kekuasaan cenderung bersikap otokratis. Kebebasan politik warga sipil untuk sementara waktu dikesampingkan, jika tidak bisa dikatakan dipersekusi atau dibungkam. Setidaknya itu dilakukan untuk memunculkan kepatuhan warga sipil atas kebijakan yang diambil. Pengendalian atas kebebasan politik lazimnya menjadi hukum besi dari praktik politik demokrasi kapital uang & pasar modal (neoliberal). Semakin besar kapital uang & modal investasi, utang yang mengalir terhadap sebuah negara, semakin besar pula tekanan politik untuk negara penerima.
Setidaknya data global yang menyebutkan merosotnya indeks demokrasi nasional dalam kurun waktu 14 tahun terakhir terindikasi memiliki hubungan erat dengan gambaran pengendalian kebebasan politik di atas. Kiranya cukup jelas perkembangan situasi politik ekonomi global kekinian yang dinilai beresiko terhadap stabilitas negara termasuk kemungkinan masalah keberlanjutan pandemik covid. Membengkaknya utang luar negeri. Pembiayaan operasi politik pemilu yang mahal & oligarki serta proyeksi stabilitas keamanan pemilu 2024 dan seterusnya. Terlebih kita menyaksikan pengaruh tokoh-tokoh politik nasional sepuh makin melemah, seiring usianya yang makin ujur. Tentunya kekahwatiran akan peralihan generasi dalam kepemimpinan nasional semakin tinggi. Pendeknya, pemilu & pilpres 2024 seolah menampakan jalan terjal & terdapat banyak tikungan tajam.
Dari gambaran tersebut & jika merujuk pada pendapat Samuel Huntington tentang gelombang demokratisasi dunia. Bahwa dalam setiap fase gelombang demokratisasi akan ada apa yang disebutkan arus balik gelombang. Jika melihat setiap fase gelombang demokratisasi dengan arus baliknya sebagaimana yang diulas Huntington sejak 1922 maka sebenarnya merosotnya indeks demokrasi nasional dalam kurun waktu 14 tahun terakhir (sejak 2007) menggambarkan dunia telah mengalami arus balik gelombang demokratisasi ketiga yang mulai bergerak tahun 1990 & kita sedang berada di fase arus balik itu. Arus balik tersebut adalah proses penguatan kembali otoriterianisme atau totaliterianisme. Bukankah keadaan tersebut relevan dengan arah perjalanan demokrasi nasional. (*)