Catatan Kritis Demokrasi
Oleh; Rusdi Abidin
Maraknya kritik kepada Presiden RI membuat pihak istana gerah & emosi. Pasalnya kritik sudah dinilai sebagai hujatan, cemohan yang tidak memiliki kesantunan, adat ketimuran, melenyapkan kewibawaan negara & mungkin juga mengandung unsur ujaran kebencian. Bagi yang lain, kritik dinilai beragam. Ada yang menilai sebagai bentuk ketidakpuasan. Ada yang menilai sebagai ungkapan kebencian. Ada juga yang menilai hal biasa dalam alam demokrasi.
Presiden Jokowi Widodo meminta masyarakat untuk berperan aktif dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah. Hal tersebut disampaikan saat acara Peluncuran laporan Tahunan Ombudsman RI tahun 2020 yang digelar secara daring melalui akun youtube Sekretariat Presiden (Kompas TV, 10 Februari 2021). Namun pernyataan presiden itu menuai pro dan kontra, mengingat adanya undang-undang nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dianggap sebagai penghambat kebebasan masyarakat dalam berekspresi. Sejumlah tokoh & aktivis yang kritis dijerat dengan Undang-undang tersebut.
Namun sikap terbuka presiden menerima kritik belum cukup memperbaiki indeks demokrasi yang merosot. Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) mengenai Indeks Demokrasi 2020, tercatat Indeks Demokrasi di Indonesia turun dari skor 6,48 di tahun 2019 menjadi 6,3 di tahun 2020. Skor 6,3 merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Bahkan untuk di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. (detikNews, Rabu, 10 Maret 2021).
Lebih dari 100 ilmuan dari berbagai belahan dunia menilai demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran. Pemimpin yg dipilih secara demokratis banyak yang memunggungi pemilihannya & menghianati nilai-nilai demokratis. Aparat kerap mempersekusi warga sipil yg mengkritik pemerintah. Situasi yang berakibat menurunnya indeks demokrasi Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. (Koran Tempo, 20 Agustus 2021)
Menarik kemudian ternyata merosotnya indeks demokrasi Indonesia sudah berlangsung dalam kurun waktu 14 tahun. Itu berarti terhitung sejak Presiden SBY (periode pertama) kebebasan politik telah anjlok alias demokrasi tidak tumbuh dengan wajar. Bak kendaraan sedang menarik kopleng gigi mundur. Demokrasi berjalan mundur. Padahal klaim keberhasilan politik demokrasi proseduralistik dalam waktu itu tidak terbantahkan & bahkan menunjukan negara terbesar berhasil menyelenggarakan pemilu & pemerintahan demokrasi dengan aman & stabil.
Badai Kritik
Sejak awal menjabat Presiden RI, Joko Widodo mendapatkan serangan kritik yang massif. Jika dilihat beberapa cara & model kritik menunjukan kekecewaan yang berlangsung lama. Salah satu yang dominan, sangat mungkin bertalian dengan hasil pilpres, yang menempatkan kemenangan tipis Joko Widodo atas rival tunggalnya Prabowo Subianto. Lazimnya kemenangan tipis tidak cukup menempatkan posisi kekuasaan aman. Karena menandaskan tingkat legitimasi politik yang relatif rendah. Itu terlihat dari kemenangan tetapi penuh dengan gejolak protes keras pendukung pesaingnya.
Masuknya pesaingnya pasangan capres & cawapres (Prabowo Subianto & Sandiaga Uno) dalam kabinet seolah mengisaratkan legitimasi politik akan diperoleh penuh & mungkin juga meredakan kekecewaan massa loyalis lawan. Tetapi ternyata tidak. Terasa bara kekecewaan pilpres masih menyala di masyarakat. Karena proses pilpres 2019 telah memakan korban nyawa & tekanan physikologis yang dalam akibat panasnya persaingan capres. Oleh karena itu gejolak politik atas kekecewaan pilpres sangat potensial terus berlanjut. Sedikit saja kekeliruan dalam kebijakan pemerintah, bisa memunculkan luapan ekspresi protes & kritik keras. Bahkan bisa bertambah massif, baik volume maupun cara & bentuknya.
Seperti kritik dalam bentuk gambar mural yang beberapa waktu lalu viral. Mural tersebut bisa saja menunjukan ekspresi ketidakpuasan atas perlakuan tidak adil seperti kritik atas revisi UU KPK langsung karena dicurigai bentuk pelemahan KPK. Penetapan UU Omnibuslaw yang direspon warga dengan aksi demostrasi besar-besaran. Reaksi protes serupa juga terlihat dalam penerapan kebijakan kedaruratan kesehatan – pembatasan sosial akibat pandemik covid19.
Masyarakat seolah tidak percaya dengan kebijakan pemerintah itu. Karena saat yang sama dirasakan perlakuan ketidakadilan yang terlihat dengan mata kepala membanjirnya TK asing ke dalam negeri. Padahal penerapan pembatasan sosial telah berdampak pada hilangan pekerjaan & usaha masyarakat tetapi tetap diminta kepatuhannya menjalani pembatasan sosial. Bisa juga dilihat ketidakpuasan itu terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama akibat dari banyak masalah yang menimpa bangsa, seperti berkaitan dengan sejumlah janji kampanye pilpres baik di periode pertama maupun kedua belum terlihat realisasinya.
Lebih dari itu kritik atas ketidakpercayaan karena terkait dengan posisi utang luar negeri yang semakin besar tetapi tidak terlampau berpengaruh pada kesejahteraan rakyat. Sementara kemampuan membayar dicurigai sangat kecil & hanya mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam ekstratif. Kasus utang luar negeri bukan hal baru. Masalah berulang saat ini dari rezim orba. Porsi lebih besar dari kritik utang pemerintah dikaitkan banyak berhubungan pembiayaan operasi capres yang sarat oligarki & pembungkaman kebebasan politik. Memposisikan pemilu tidak lebih sebagai ajang pembentukan legitimasi semu – quasi demokrasi.
Karena itu kritik atas utang luar negeri seringkali dijadikan kritik pamungkas & sebabnya untuk menguak masalah & dilema politik pemerintahan demokraktik. Akibatnya kritik yang tadinya dianggap biasa sebagai budaya demokrasi, bisa saja dirasakan seperti badai yang mengancam posisi kekuasaan & muncul kecemasaan akan ada upaya untuk menggulingkan kekuasaan.
Imbasnya penanganan kritik oleh aparat terkesan tidak profesional & ambigiu sehingga menuai pro kontra & kecaman. Dalam kasus mural misalkan, aparat mengambil langkah menghapus mural tersebut (CNN Indonesia, Senin, 16/08/2021). Namun beberapa hari kemudian aparat mengurung niatnya untuk memproses pelaku mural (TEMPO.CO, 20 Agustus 2021). Penanganan kritik tersebut terlihat dalam kapasitas penegakan hukum & mungkin bertujuan meredakan kritik. Namun justru berbalik, karena dianggap membungkam kebebasan politik.
Harus menjadi sikap korektif jika ingin kritik tumbuh sebagai budaya demokrasi ketimbang tumbuh menyerupai badai, maka praktik politik yang mahal & oligarkis harus dikoreksi total. Sebab itu menjadi akar kesemrawutan politik nasional. Mengembangbiakan perilaku membuli dalam pilpres hingga menciptakan stigma minor (cebong & kampret) yang melekat pada masing-masing para loyalis capres. Pemimpin nasional tidak mandiri. Menciptakan utang luar negeri yang berlipat ganda & berjilid-jilid.
Moralitas Liberal Vs Kesantunan
Sejatinya kritik dalam bentuk apapun, menilai keburukan, penghinaan, hujatan harus diterima oleh kekuasaan politik & kelompoknya. Sebab kritik merupakan instrumen pokok sistem berdemokrasi & sinyal hidupnya kebebasan politik. Bagaimanapun telah diakui bahwa kekuasaan politik demokrasi nasional sepenuhnya adalah bentuk dari praktik politik liberalistik & neoliberalistik.
Jelas sumber desain pembentukan kekuasaannya ditopang oleh utang kapital uang & modal investasi. Berdasarkan sumber desain, maka sesungguhnya kekuasaan politik adalah “produk politik pasar” yang bernilai barang publik (public goods). Itu hal yang sudah diterima universal. Dalam lingkup itu sudah tentu kekuasaan politik harus dapat memberikan kepuasan kepada publik. Jika tidak akan ditagih oleh publik dengan beragam cara kritik & protes.
Lalu pertanyaannya, apakah benar bahwa kehidupan politik demokrasi kita jauh dari kesantunan?. Tentang kesantunan seyogyanya diletakan secara proporsional. Sebab bisa rancu & berimplikasi luas terhadap kebebasan politik. Jika kesantunan dimasukan dalam praktik demokrasi liberal maka akan menuai kontradiksi. Karena keduanya memiliki moralitas yg berbeda. Kesantunan memiliki moralitas nontransaksional. Sedangkan moralitas liberal transaksional. Dalam perbedaan tersebut tentu kekuasaan tidak dapat menuntut kesantunan publik dalam kritik.
Justru harus dipahami bahwa menuntut kesantunan berarti menuntut kebebasan politik diberangus. Supaya tidak demikian maka harus terbiasa memandang kesantunan dalam kritik adalah kebebasan itu sendiri. Karena kebebasan politik cakupannya adalah kesadaran manusia tentang kemanusiaannya. Juga harus diakui kekuasaan politik adalah produk dari sistem & mekanisme pengambilan keputusan dalam “pabrik demokrasi proseduralistik”. Dalam pabrikasi demokrasi tidak memuat norma & aturan kesantunan, selain profesional, independen, terbuka & tertanggung jawab.
Demikian dalam memperoleh legitimasi kekuasaan politik demokrasi (liberal) tidak dikenal kesantunan selain persaingan. Persaingan mengandung laku transaksi terbuka menguji produk masing-masing pihak yang bersaing. Dalam persaingan tersebut diawasi oleh moral liberalistik yang menjelaskan ganjaran atau imbal balas diperoleh sesuai dengan produk atau jasa yg dihasilkan (komutatif). Semakin tinggi kualitas produk & jasa yang dihasilkan, semakin tinggi pula harga & imbalan yang diperoleh. Sebaliknya semakin rendah kualitas produk, semakin besar proporsi penolakan terhadap produk & jasa yang dijual.
Bola Liar Politik (Neo)Liberal
Pada prinsipnya, sejak reformasi kita telah mengambil pilihan hidup bergaul & mengakrabi “demokrasi liberal – neoliberal” hasil dari rekomendasi tim 7 bentukan pemerintahan transisi. Bukan “demokrasi made in indonesia”. Sekali lagi kita telah mengauli “demokrasi liberal – neoliberal” & yang digauli adalah caranya. Yaitu suatu cara berdemokrasi yang meyakini pada dua tindakan yang harus dilakukan secara bersamaan. Pertama, kebebasan bersaing. Kedua, kebebasan bersaing dengan utang kapital uang.
Kebebasan bersaing mengasumsikan hidup adalah “persaingan bebas” atau “persaingan alamiah”. Persaingan yang menjelaskan yang kuat adalah besar & buas. Yang kalah adalah yang kecil & lemah. Mereka yang besar & buas hanya kalah melalui evolusi alamiah. Atau evolusi Darwinis (perubahan secara bertahap atau gradual dari bentuk manusia menyerupai kera bertahap dalam kurun waktu yang lama berubah sempurna berbentuk manusia). Sama halnya juga mereka yang kecil & lemah akan menjadi besar & buas melalui evolusi darwinis. Jika tidak mampu bersaing akan mati & hancur. Persaingan politik alamiah (darwinis politic) dikonversikan menjadi persaingan pasar bebas atau “laissez-faire yang berarti membiarkan apa adanya”. Itu adalah teori alamiah yang digunakan dalam lapangan ekonomi pasar liberal
Hal itu sebagaimana digariskan dalam teori demokrasi liberal, Tocqueville, Mill bahwa ketidaksamaan ekonomi dipandang sebagai pendukung kebebasan politik dalam suatu sistem politik yang menganut kesamaan formal. Para penganut persaingan tersebut percaya dengan teori liberal ini menganggap bahwa kompetisi antar manusia di pasar dagang – bisnis adalah hal yang alamiah. Campur tangan pemerintah dalam lapangan ekonomi harus dikurangi & bahkan ditiadakan, sebagaimana ditulis John Locke (1632-1704) paham liberal klasik dengan idenya State of Nature yang intinya mengedepankan ide kebebasan dan kesamaan hak yang tidak boleh dibatasi oleh kekuasaan negara.
Cara pandang laissez-faire diadopsi ke lapangan politik demokrasi. Itu yang diyakini dapat memanifestasikan prinsip kebebasan, kesetaraan & persaudaraan. Tetapi ternyata tidak. Karena demokrasi liberal tidak menischayakan sepenuhnya kebebasan politik, tetapi “kebebasan untuk bersaing” atas kepemilikan produksi barang & jasa serta penguasaan faktor produksi. Dalam pandangan ekonomi disebutkan praktik “neoliberal”. Campur tangan pemerintah pengelolaan ekonomi harus dibatasi & yang menjalankannya adalah perseorangan & swasta.
Sementara kebebasan politik sendiri diharuskan tunduk pada kepentingan kekuasaan politik guna menjamin kebebasan persaingan ekonomi dari pelaku modal & kapital uang. Karena kepentingan kekuasaan tersebut telah diserahkan pada pasar modal & kapital uang sebagai konsekuensi dari bantuan pembiayaan operasi politik capres. Bantuan pembiayaan tersebut agar rasional pada akhirnya diserahkan menjadi kalkulasi investor swasta sebagai pinjaman atau utang.
Dititik itu telah diatur hubungan timbal balik yang rasional antara kekuasaan dengan donatur kapital uang melalui hukum persaingan harga. Jadi kesetaraan politik kedua belah pihak hanya didapatkan melalui hukum persaingan harga, kualitas & kepemilikan produksi. Demikian pula persaudaraan terbentuk alamiah sesuai klaster kepemilikan & penguasaan harta kekayaan serta kapital uang. Atau membentuk klas sosial secara alamiah dimana klas besar & buas terpisah dari klas kecil & lemah. Tetapi dalam hukum harga persaingannya sama & setara.
Lalu bagaimana dengan nasib mereka – rakyat yang miskin & tidak memiliki faktor-faktor produksi untuk berusaha?. Bagi penganut neoliberal beranggapan bahwa pada akhirnya yang miskin akan ikut mendapat manfaat dari ekonomi yang berkembang secara kapitalistik yang diasumsikan & diukur melalui pertumbuhan ekonomi dengan efek penetesannya. Sebagai sumber legitimasi formil bagi pelaku kapital uang yang bersaing memperebutkan kursi kekuasaan maka sebagai balas jasanya atas pemberian legitimasinya diperoleh berdasarkan upah minimum atau layanan kebutuhan dasar minum yang distandarkan.
Maka jelas demokrasi yang kita pilih menurut caranya tidak berkenan dengan kesantunan. Melainkan berkaitan persaingan politik ekonomi yang bebas dengan basis perlakuannya pada rasionalitas, individualis & sekuleris. Dalam basis tersebut mengandung interaksi kritik, ide & kebijakan. Ketiga itu menjadi perlengkapan persaingan politik demokrasi. Sementara demokrasi neoliberal digerakan oleh kapital uang, tranksaksi – harga & institusi atau aturan main. Perlengkapan itu digunakan dalam persaingan atas produk partai politik & kekuasaan. Ujung dari persaingan adalah bagaimana layanan (services) & kepuasan (utilitarian) diperoleh publik.
Dalam koridor itu maka, sangat mungkin praktik politik demokrasi diklaim sepihak oleh elit sebagai obligator politik negara & bukan rakyat. Karena mereka elit pada akhirnya menganggap dirinya sebagai penentu kebijakan kesejahteraan yang diberikan oleh penguasa kapital uang & pasar. Inilah yang bisa menjadi bola liar politik demokrasi neoliberal.
Fungsi Kritik & Tidak (puas) Utang
Kritik sangat mungkin mengandung unsur cemohan, hujatan, hinaan dan seterusnya. Karena berkenaan layanan & kepuasan. Layanan tidak bermutu pasti mendapatkan reaksi protes. Demikian juga ketika produk politik ternyata busuk, maka kritik pun muncul. Jadi protes & kritik harus dianggap wajar.
Kritik fungsinya sama dengan ide, sama pula dengan kebijakan, yaitu instrumen mengkualitaskan demokrasi. Mereka yg mengritik kekuasaan dengan bahasa apa pun dengan cara apa pun adalah hak bebas individu. Telah digariskan dalam moralitas liberal menghendaki bahwa masing-masing kita haruslah dibiarkan bebas memasarkan atau menjajakan barang-barangnya (berupa materi intelek, politik atau agama) & berdasarkan syarat ini memperoleh kembali imbalan yang layak sesuai dengan barang-barang yg dijajakan (baca; Ketidakmerataan Konflik & Perubahan, Andrew Blowers & G. Thomson, 1976; 89).
Maka tanggung jawab dari kekuasaan adalah membuktikan produk yg telah dijajakan selama kampanye politik dihadapan publik atau rakyat. Dan ketika terpilih maka otomatis telah dianggap rakyat menerima (membeli) produk capres. Maka dengan begitu rakyat berhak menagihnya realisasi kualitas produk. Itu hukum imbal balas yang setara. Dengan hukum politik tersebut dikuantitatifkan untuk dapat ukuran kualitas tidaknya demokrasi.
Itulah cara kekuasaan demokratik neoliberalif bekerja membentuk hubungan legitimasinya yang bersumber dari publik atau rakyat yang diasumsikan sebagai konsumen (sumber formal). Jadi sekali lagi kritik adalah bentuk publik menagih layanan & kepuasaan yang semestinya diterima.
Dengan demikian kekuasaan demokratik liberalis tidak akan ditagih tentang abstraksi kedaulatan politik negara – rakyat. Tetapi akan ditagih bagaimana & seperti apa layanan kesejahteraan & kepuasaan yang harus terima orang banyak. Kira-kira dari situ barulah dibayangkan kedaulatan politik rakyat junto kedaulatan negara terjawab. Semakin tinggi layanan kesejahteraan & kepuasaan yang diterima rakyat, semakin berdaulat juga pemerintahan.
Menjadi catatan kritis resiko dari praktik politik liberal adalah makin membesarnya beban politik ekonomi anggaran negara dari tahun ke tahun & memaksa utang luar negeri bertambah berlipat-lipat. Pertambahan beban sering meningkatnya beban layanan kesejahteraan & penyelenggaran pemerintahan demokratik. Tidak bisa menafikan bahwa pertambahan beban anggaran belanja negara & utang luar negeri bisa dipicu dari cara praktik politik yang mahal & oligarkis.
Hasil dari itu, negara hidup dalam ketergantungan utang luar negeri yang akut & berkepanjangan. Konsekuensi dari beban utang luar negeri adalah mengiring kekuasaan bertindak otoriterian – otokrasi membungkam kebebasan politik, mereduksi ketidakpuasan demi terjaminnya keamanan, pembangunan, pembayaran utang atau pengembalian investasi asing. Demi itu pada akhirnya seolah-olah menempatkan kita sebagai negara demokrasi tetapi sebenarnya tidak menghendaki demokratis (quasi demokrasi). Dengan kata lain, kebebasan politik untuk sementara waktu diperlukan, tetapi untuk selanjutnya harus tunduk pada kebebasan bersaing atau kebebasan pasar kapital uang. (*)