Oleh:
Ahmad Mony, M.Si
Peneliti di Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3-LPPM IPB)
Hasil survei itu merupakan pekerjaan ilmiah yang dilakukan dengan pendekatan dan metodologi yang valid, terukur, dapat diverifikasi, dan terpercaya.
Meskipun bermain dengan dugaan, pengacakan, juga bias statistika, namun norma maupun kaidah statistika yang ketat menjamin pengambilan hasil yang shahih. Survei pilkada dalam satu dekade terakhir paling memicu polemik dan kontreversi, ketimbang survei-survei sejenis untuk kepentingan bisnis atau pelayanan publik.
Hal ini tidak terlepas dari dinamika politik maupun kontestasi yang ‘tidak sehat’ untuk menjadi pemenang kursi panas kepala daerah. Polemik paling aktual terkait dengan hasil rilis Lembaga Jaringan Survei Nasional (JSN) yang menempatkan pasangan FAHAM (Fachri -Arobi) sebagai pemenang pilkada Kab. SBT 9 Desember. Kubu dari kompetitor membangun argumentasi gaya koboi dan anak kecil terhadap hasil survei tersebut.
Gaya koboi pihak kompetitor dapat dibaca dari dua argumentasi: pertama, dengan menyebar hasil survei JSN sebelumnya tentang popularitas dan elektabilitas para kandidat yang menempatkan paslon ADIL sebagai kandidat unggulan. Kedua, membangun opini menyesatkan kenapa bukan JSN yang membuat rilis, dan bukan LSI sebagai konsultan pllitik FAHAM.
Disinilah penyesatan opini itu dilakukan untuk membantah sebuah karya ilmiah. Pertama, kalaupun benar ada dua hasil survei yang dilakukan oleh JSN, maka kedua hasil survei itu benar adanya dan tidak berlawanan antara satu dengan lainnya.
Perubahan waktu survei meniscayakan adanya perubahan hasil meskipun menggunakan populasi dan metode survei yang sama. Apalagi para kandidat telah bekerja pada berbagai ruang untuk meraih simpati publik dan menaikkan elektabilitasnya.
Kedua, mengapa harus JSN? dalam perhelatan politik, sebuah lembaga survei bebas untuk terlibat dalam melakukan kajian atau survei selama didukung oleh sumberdaya dan kepentingan lembaga dalam mewarnai ruang demokrasi pilkada.
Bahwa para kandidat memiliki lembaga survei dan konsultan politik yang tidak melakukan rilis hasil survei itu adalah hak kandidat, dan bisa jadi bagian dari strategi internal untuk pemenangan pilkada.
Terakhir, sebaiknya karya ilmiah sekelas survei pilkada dilawan dengan karya ilmiah serupa sehingga dapat diperbandingkan secara simetris. Pihak kandidat lain dapat melakukan survei internal, atau menyewa lembaga survei untuk melakukan suvei dan mengumukan hasilnya dalam waktu dekat.
Tidak dibenarkan melawan hasil survei dengan opini, apalagi membangun opini yang menyesatkan bahkan mengarah ke propaganda politik untuk menyudutkan lembaga survei. Kalaupun pihak kompetitor memiliki dugaan lembaga survei memiliki konflik kepentingan dan meragukan hasil surveinya, maka ada prosedur hukum yang bisa ditempuh.
Dan sangat disayangkan, polemik semacam ini dilakukan oleh kalangan terpelajar yang belajar tentang kaidah-kaidah statistika di perguruan tinggi. (*)